Pertamina Bantah Tuduhan Oplos Pertalite & Pertamax dalam Kasus di Kejagung

25 Februari 2025 19:01 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
VP Coporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, saat ditemui di The Patra Bali, Selasa (11/2/2025). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
VP Coporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, saat ditemui di The Patra Bali, Selasa (11/2/2025). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
ADVERTISEMENT
PT Pertamina (Persero) membantah isu yang beredar terkait oplosan BBM RON 90 Pertalite dan BBM RON 92 Pertamax dalam dugaan kasus korupsi yang tengah diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
ADVERTISEMENT
Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan narasi oplosan BBM Pertalite dan Pertamax tidak sesuai dengan pernyataan Kejagung alias misinformasi, sebab titik permasalahannya seputar keputusan impor minyak mentah.
"Ini kan muncul narasi oplosan itu kan juga gak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kejaksaan sebetulnya. Jadi di Kejaksaan mungkin kalau boleh saya ulang, lebih mempermasalahkan tentang pembelian RON 90 dan RON 92, bukan adanya oplosan," ungkapnya saat ditemui di kompleks Gedung DPD RI, Selasa (25/2).
Dengan demikian, Fadjar memastikan seluruh produk BBM yang didistribusikan Pertamina kepada masyarakat sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan pemerintah.
"Kami pastikan bahwa yang dijual ke masyarakat itu adalah sesuai dengan spek yang sudah ditentukan oleh Dirjen Migas. Itu artinya ya RON 92 Pertamax, RON 90 itu artinya Pertalite," jelas Fadjar.
ADVERTISEMENT
Fadjar menjelaskan, selama ini kilang milik Pertamina belum seluruhnya fleksibel mengolah berbagai jenis minyak mentah (crude), sehingga minyak mentah hasil produksi di dalam negeri yang tidak sesuai spesifikasi kilang, harus diekspor. Untuk bisa memenuhi kebutuhan energi nasional, lanjut dia, Pertamina harus mengimpor minyak mentah dari luar negeri yang sesuai dengan kemampuan kilang Pertamina.
"Kilang kita ini kan belum semuanya ter-upgrade istilahnya. Jadi tidak se-flexible bisa mengolah berbagai jenis semacam crude. Jadi dari segi produksi juga produksi BBM atau produksi minyak mentah kita juga masih defisit dibandingkan dengan konsumsi sehingga masih diperlukan impor," jelasnya.
Jumpa pers Kejaksaan Agung terkait perkembangan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak, Senin (24/2). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Fadjar berharap masyarakat bisa memahami terkait defisit energi yang terjadi saat ini di Indonesia, bahwa produksi migas di dalam negeri juga belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan atau konsumsi.
ADVERTISEMENT
"Dari segi produksi kita memang masih kurang. Sedangkan konsumsi melebihi apa yang diproduksi oleh Pertamina juga KKKS yang lain. Oleh sebab itu diperlukan impor," imbuhnya.
Di sisi lain, Fadjar mengatakan pihak Pertamina masih menunggu kelanjutan proses penyidikan oleh Kejagung terkait kasus yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga dan PT Pertamina International Shipping (PIS) tersebut.
"Untuk lain-lain kita masih menunggu dari Kejaksaan, kita hormati proses hukum yang ada di Kejaksaan, kita tunggu bersama," ujarnya.

Penjelasan Kejagung

Sebelumnya, Kejagung menetapkan 7 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang pada PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), pada 2018-2023.
Ketujuh tersangka itu terdiri dari 4 orang petinggi anak perusahaan BUMN tersebut, yakni RS, SDS dan YF dan AP. Sedangkan tiga tersangka lainnya yakni; MKARselaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
ADVERTISEMENT
Qohar menerangkan, perkara ini bermula ketika pada periode 2018-2023 pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri.
Saat itu, perusahaan BUMN tersebut kemudian diwajibkan untuk mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Hal itu telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Namun ternyata, tersangka RS, SDS, dan AP, diduga melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH). Hasil rapat dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.
Pada saat yang sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga dengan sengaja ditolak. Alasannya, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Faktanya, minyak yang diproduksi masih dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.
Dua anak perusahaan BUMN itu lalu melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. Di mana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.
Salah satunya dilakukan oleh tersangka RS dalam pembelian produk kilang. RS diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya yang dibeli adalah RON 90 yang diolah kembali.