Pertamina Lirik Bisnis Baterai Listrik hingga Suplai Obat-obatan

10 Agustus 2020 19:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Karyawan melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) kendaraan konsumen di SPBU Coco Plaju, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (20/2). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Karyawan melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) kendaraan konsumen di SPBU Coco Plaju, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (20/2). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ADVERTISEMENT
PT Pertamina (Persero) mulai membuat perencanaan bisnis di masa depan, seiring konsumsi energi dunia mulai bergeser secara bertahap dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan.
ADVERTISEMENT
Perusahaan-perusahaan minyak dan gas mulai mengubah produksi bisnis mereka lebih ramah lingkungan karena tren energi fosil diperkirakan akan turun 7 tahun lagi.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan perusahaan tengah melirik bisnis produksi bahan baku energi dari listrik menggunakan baterai atau fuel battery.
Bisnis ini dijajaki Pertamina karena Indonesia tengah mengembangkan industri kendaraan listrik atau EV dan pembuatan bahan baku baterainya bersumber dari nikel yang melimpah di dalam negeri.
"Terkait dengan EV, kami akan mulai dengan membangun pabrik battery cell. Nanti akan kembangkan energy storage karena battery ini bukan hanya untuk transportasi saja tapi juga untuk remore area yang rumah. Jadi supply listriknya bisa dari battery listrik," kata dia dalam diskusi Rakyat Merdeka secara virtual, Senin (10/8).
ADVERTISEMENT
Bisnis fuel cell ini juga sejalan dengan pemanfaatan solar fotovoltaik yang digarap pemerintah untuk wilayah terpencil. Karena wilayah tersebut tidak perlu sistem transmisi listrik dalam jumlah besar, kebutuhan energinya bisa ditopang (backup) battery energy storage system Pertamina yang sifatnya modular.
"Jadi kami akan kembangkan fuel cell ini," ujarnya.
Bisnis lain yang juga dilirik adalah menyediakan bahan baku obat-obatan untuk produksi perusahaan farmasi di dalam negeri, khususnya dari BUMN seperti Kimia Farma. Bahan baku itu akan diproduksi Pertamina dalam industri petrokimia yang tengah dijajakinya saat ini.
"Kami masuk ke sana untuk supply bahan baku obat-obatan sehingga bisa kurangi impor dan lebih mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk obat-obatan," terangnya.
Bisnis lainnya yang sudah dijajaki dan terus dikembangkan adalah produksi BBM dari kelapa sawit. Sejak 2019 pemerintah sudah memproduksi Biodiesel 20 persen atau B20 dengan komposisi BBM solar ditambah 20 persen minyak sawit.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati di pertamina energy forum 2019, Selasa (26/11). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Tahun ini, Pertamina memproduksi B30 dan tahun depan akan produksi B40. Tapi, Pertamina juga belum lama ini berhasil meramu green fuel yang 100 persen dari sawit alias D100. Produk green fuel Pertamina tak hanya di solar, ada juga di avtur dan gasoline.
ADVERTISEMENT
Bisnis lainnya adalah gasifikasi batu bara. Dengan memanfaatkan batu bara kadar rendah (low rank), Pertamina dan PT Bukit Asam Tbk (Persero) mengajak Air Product dari Amerika Serikat untuk mengubah batu bara menjadi bahan baku gas LPG yang selama ini masih banyak diimpor.
Sedangkan pada bisnis utamanya yaitu produksi minyak mentah atau fosil di sisi hulu migas masih tetap berjalan. Tapi, untuk mengoptimalkan sumur-sumur yang tua, Pertamina harus menggunakan teknologi seperti Enhanced Oil Recovery (EOR).
Tanpa teknologi tersebut dan tidak ada penemuan cadangan baru, produksi minyak Pertamina diprediksi akan habis pada 2030 atau tujuh tahun lagi.
"Cadangan kita kan belum ada yang signifikan dan belum ada yang new discovery. Jadi kita sedang serius kita lakukan teknologi EOR untuk optimalkan blok eksisting," ujarnya.
ADVERTISEMENT