Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
PT Pertamina (Persero) mengalami kerugian sebesar USD 767 juta pada semester I 2020. Kerugian ini setara Rp 11,28 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.700 per dolar Amerika Serikat. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, perusahaan masih meraup untung USD 659,9 juta.
ADVERTISEMENT
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini membeberkan penyebab perusahaan rugi. Kata dia, wabah virus corona memukul bisnis Pertamina dalam tiga kali pukulan (triple shock).
Pertama, turunnya penjualan perusahaan yang sangat berdampak pada arus kas perusahaan. Kata Emma, baru di masa pandemi ini penjualan turun sangat dalam.
Dalam laporan keuangan perusahaan, total penjualan dan pendapatan usaha lainnya anjlok 24,7 persen dari USD 25,54 miliar menjadi USD 20,48 miliar.
Anjloknya penjualan BUMN migas ini berasal dari turunnya penjualan minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi, dan produk minyak di dalam negeri dari USD 20,94 miliar menjadi USD 16,56 miliar. Lalu pendapatan usaha dari aktivitas operasi lainnya juga turun dari USD 479,2 juta menjadi USD 414,8 juta.
ADVERTISEMENT
"Ini beda sekali dengan krisis sebelumnya. Biasanya kalau terdampak itu volatilitas kurs dan crude price (harga minyak mentah), kalau sekarang demand yang signifikan pada revenue kita. Bahkan kondisi sekarang ini lebih berat dari krisis finansial," kata Emma dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI, Rabu (26/8).
Triple shock kedua adalah terdampak oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sebab pembukuan keuangan Pertamina dilakukan dalam bentuk dolar.
Di sisi lain, piutang Pertamina ke pemerintah ditulisnya dalam bentuk rupiah. Negara memiliki utang ke Pertamina untuk penjualan harga jual eceran (HJE) Rp 96 triliun dan utang subsidi BBM Rp 13 triliun. Kata Emma, secara translasi, piutang dengan satuan rupiah itu merepresentasikan 60 persen rugi kurs perusahaan.
Untuk menekan kerugian kurs ini, Emma berharap pemerintah segera membayar utangnya agar bisa membantu Pertamina menekan rugi kurs.
ADVERTISEMENT
"Kami lakukan hedging di market pun enggak bisa flow-nya untuk kurs currency sampai Rp 100 triliun lebih. Ini menimbulkan komposisi rugi 30-40 persen dari kerugian kita," ujar dia.
Ketiga, kerugian karena harga minyak mentah dunia yang turun. Harga minyak mentah sempat anjlok hingga USD 19 per barel beberapa bulan lalu, padahal pada Desember tahun lalu masih USD 63 per barel.
Anjloknya harga minyak mentah dunia ini berdampak kepada margin di hulu migas Pertamina. Padahal margin di hulu ini menyumbang 80 persen EBITDA perusahaan. Hal itu yang membuat Pertamina rugi .
"Namun di Juli dan Agustus ada perbaikan. Mudahan di Desember bisa positif meskipun tipis tapi sudah kelihatan," ujar Emma.