Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Pemerintah telah memberikan kelonggaran bagi produsen rokok untuk dapat menjual harga rokok hanya 85 persen dari banderol yang tertera dalam pita cukai. Namun di lapangan, masih ada sejumlah produsen nakal yang menjual harga rokok di bawah 85 persen dari harga banderol.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany menyatakan keprihatinannya atas pengendalian tembakau yang masih belum maksimal tersebut.
“Kita sangat prihatin selama satu tahun pandemi COVID-19 ini, belum terlihat penguatan pengendalian rokoknya,” ujar Prof Hasbullah dalam keterangannya, Selasa (6/4).
Menurut dia, pengendalian tembakau juga sulit terjadi karena adanya pelanggaran harga dalam penjualan rokok di pasar, sehingga masyarakat makin mudah membeli rokok.
Hasbullah yang juga Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau itu mengatakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bertindak tegas soal pelanggaran harga rokok. Sebab selama ini, perusahaan pun telah mendapat kelonggaran harga.
“Harusnya pemda-pemda ikut melindungi rakyatnya, harga rokok yang makin murah justru meracuni rakyat di daerahnya dan meningkatkan risiko sakit masa depan dan juga COVID-19. Jangan pula pemda membiarkan perusahaan atau pedagang memberikan kemudahan,” jelasnya.
Peneliti Center of Human And Economic Development (CHED) Institut Teknologi Dan Bisnis (ITB), Ahmad Dahlan Jakarta Adi Musharianto mengatakan, fakta ketidaksesuaian harga jual eceran (HJE) dan harga transaksi pasar (HTP) kerap terjadi.
ADVERTISEMENT
Dia mencontohkan, harga rokok golongan sigaret putih mesin (SPM) dibanderol Rp 35.800 per bungkus, namun di pasar masih bisa ditemukan dengan harga jual Rp 29.000 atau 81 persen dari banderol. Padahal, aturannya hanya boleh 85 persen dari banderol.
“Kalau kita lihat harga rokok, faktanya HTP justru diatur kurang dari harga banderol. Jadi melanggar ketentuan HTP,” katanya.
Dia menilai, hal tersebut terjadi karena perusahaan menekan margin untuk menjual produknya di bawah harga banderol. Hal ini pun dapat menimbulkan persaingan yang tak sehat dan berpotensi menjadi predatory pricing bagi industri hasil tembakau.
“Faktanya perusahaan menekan HTP di bawah 85 persen dan dampaknya itu terhadap margin tenaga kerja, price predatory, dan prevalensi perokok,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Adi merekomendasikan agar aturan mengenai HTP seharusnya dibuatkan roadmap dan sanksi yang tegas jika ada pelanggaran. Termasuk ketika terdapat kontradiksi kebijakan, aturan tersebut perlu ditinjau kembali.
Sebelumnya, Rama Prima Syahti Fauzi Analis Kebijakan Madya Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, mengatakan bahwa apabila pengendalian konsumsi tembakau diabaikan, perokok anak dapat mencapai 30 persen.
Dia mengatakan, harga rokok yang tetap terjangkau atau murah menyebabkan pengendalian konsumsi menjadi tidak optimal.
“Ada ketidaksesuaian harga jual eceran dengan harga transaksi pasar,” ujarnya dalam webinar Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok yang diselenggarakan oleh KBR Indonesi, Senin (29/3).
Dalam Perdirjen Bea Cukai 37 Tahun 2017, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen, boleh 85 persen di bawah harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Hal ini boleh dilakukan, asal tidak lebih dari 40 kota yang disurvei oleh kantor Bea Cukai.
ADVERTISEMENT
Adapun realisasi penerimaan cukai rokok mencapai Rp 27,44 triliun per akhir Februari 2021. Angka ini tumbuh 50,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Realisasi tersebut mencapai 15,79 persen dari target cukai hasil tembakau tahun ini yang sebesar Rp 173,78 triliun.