Pesan Ekonomi Buat Sri Mulyani yang Jadi Menteri Lagi

22 Oktober 2019 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa (22/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa (22/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani sudah dipastikan bakal kembali menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet baru Joko Widodo-Ma'ruf Amin periode 2019-2024. Hal itu diketahui, selepas Sri Mulyani menemui Jokowi di Istana Negara, Selasa (21/10).
ADVERTISEMENT
Kalangan ekonom menyambut baik atas kabar tersebut. Salah satunya, Ekonom senior Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto yang mengatakan, Sri Mulyani masih layak untuk dipertahankan sebagai menteri yang membantu presiden dalam menangani pos ekonomi.
"Bisa saja beliau tetap diposnya sekarang sebagai menkeu yang cukup berhasil dalam menjalankan tupoksinya," ujar Kiryanto kepada kumparan, Selasa (21/10).
Menurutnya, Sri Mulyani ke depan perlu lebih mengoptimalkan serapan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintahan baik kementerian atau lembaga.
"Harus dipercepat sebagai counter cyclical untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tidak merosot, malah kalau bisa naik ke 5,2 persen di 2020 dan seterusnya," kata dia.
Selain itu, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira pun angkat bicara. Dia mengungkapkan, Indonesia di periode 5 tahun mendatang masih membutuhkan sosok seperti Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT
"Karena sekarang mencari sosok profesional pengganti Sri Mulyani juga sulit. Dia bukan berlatar parpol (partai politik) dan punya tangan besi," ujar Bhima dihubungi berbeda.
Ia pun menyampaikan beberapa pesan yang penting untuk dijalankan Sri Mulyani ketika mengaplikasikan jabatannya sebagai menkeu di periode dua. Pertama soal perbaikan pengelolaan utang agar semakin produktif.
Menurutnya, soal utang yang jadi kekhawatiran bukan rasio utang yang masih di bawah 60 persen tapi pertumbuhan utang tiap tahunnya tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Rata-rata pertumbuhan utang pemerintah di periode I Jokowi adalah sebesar 11,7 persen tiap tahunnya. Sementara pertumbuhan ekonomi 5-5,1 persen.
"Jadi ada yang putus korelasi utang dan pertumbuhan ekonomi. Ini berasal dari penggunaan belanja K/L paling besar untuk belanja barang 40,3 persen, kemudian belanja pegawai 27,6 persen baru belanja modal di urutan ketiga yakni 22,1 persen (APBN 2018). Kalau habisnya untuk belanja konsumtif, wajar utangnya kurang produktif," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga menggarisbawahi soal indikator rasio utang terhadap PDB bukan satu-satunya penentu risiko utang. Sebab, masih ada Debt to Services Ratio (DSR) yang membandingkan total utang terhadap penerimaan valas dan ada interest ratio. Pada tahun 2014, DSR Tier I angkanya 23,9 persen, pada 2019 kuartal II angkanya jadi 34,3 persen.
"DSR naik signifikan yang menjadi kerawanan apabila terjadi depresiasi kurs rupiah, beban kewajiban utang akan membebani negara. Ini berpengaruh terhadap kemampuan bayar utang. Jadi menkeu harus berani rem utang," imbuh dia.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Hal lainnya yang menjadi sorotan terhadap Sri Mulyani adalah soal kenaikan BPJS Kesehatan hingga subsidi listrik.
"Bu Sri mulyani coba renungkan kembali apakah tepat di saat ekonomi sedang melambat iuran BPJS mau dinaikkan, kemudian subsidi listrik 900 VA mau dikurangi juga dengan subsidi BBM," katanya.
ADVERTISEMENT
APBN yang harusnya counter cyclical, kata Bhima, diperlukan sebagai bantalan agar daya beli tidak terjun bebas. Sebab menurutnya, jika pencabutan aneka subsidi tetap dipaksakan sangat mungkin ekonomi tumbuh di bawah 5 persen.
Reformasi perpajakan juga perlu menjadi perhatian yaitu harus terus berjalan mulai dari upgrading sistem IT perpajakan, kualitas SDM hingga arah penegakan aturan perpajakan yang lebih ketat kepada para konglomerat.
"Setelah tax amnesty tahun 2017 kan harusnya sekarang menegakkan aturan perpajakan. Ini yang masih kurang, sehingga ke depan Indonesia bisa lepas dari rasio pajak stagnan di 11 persen, dan menyalip negara tetangga di ASEAN lainnya," pungkasnya.