Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Petani Jakarta Harus Siap Kapan pun Tergusur dari Sawahnya
19 Juli 2018 16:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Suara mesin giling gabah terdengar menderu pada sebuah petakan sawah di Marunda, Jakarta Utara. Siang itu baru saja lewat dari pukul 12.00 WIB, sinar matahari sangat terik. Beberapa pekerja terlihat sedang mengerubungi mesin giling, sebagian dari mereka membawa gabah untuk digiling.
ADVERTISEMENT
Sekitar 50 meter dari mesin penggiling, Asmadi sedang duduk di pelataran gubuk yang berukuran kurang lebih 3x5 meter. Pria kelahiran Rorotan 70 tahun silam tersebut merupakan salah satu petani yang lahir dan dibesarkan di Marunda. Sementara mayoritas petani lainnya yang berada di Marunda merupakan pendatang dari Indramayu, Serang, sampai Brebes.
“Kalau mereka dari Jawa, saya aja yang asli orang sini,” katanya saat ditemui kumparan di Jalan Marunda gang III, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (17/7).
Menjadi petani merupakan pilihannya sejak kecil. Sejak kecil pula Asmadi harus membiayai ketiga adiknya untuk bersekolah lantaran kedua orang tuanya telah meninggal dunia saat dia berusia 10 tahun.
“(Dahulu) Ikut sama orang nyawah, saudara banyak, ditinggal meninggal dunia orang tua. Saya paling tua yang menyekolahkan semuanya (ketiga adiknya),” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Meski saat ini usianya sudah senja, dia masih tetap bekerja dari pagi hingga petang di sawah . Sejak pukul 06.00 hingga pukul 11.00, Asmadi mengawasi serta mengontrol petakan sawahnya dari berbagai macam hama, seperti keong, burung emprit, dan jenis hama tanaman lainnya.
Setelahnya, dia masih bekerja mengurusi sawahnya, “Paling malam nyemprot sampai jam 19.00 malam sampai jam 24.00, kadang-kadang ada hama, apalagi kalau hujan tengah malam,” ucap Asmadi.
Dia bercerita hal-hal yang kerap kali dihadapi oleh petani Kota Jakarta. Dari lahan yang terus menyusut setiap tahunnya, hingga ancaman banjir yang kerap bikin sawah gagal panen.
“Lahannya udah berkurang lah, dulu mah 3-4 hektare sekarang tinggal 2 hektare,” keluhnya.
Saat ini lahan-lahan sawah di Marunda mulai berkurang sejak kepemilikan lahan dikuasai oleh pemerintah DKI Jakarta maupun pihak swasta. Memang, dalam pengelolaannya seluruh keuntungan dinikmati para petani. Tapi jangan salah, kapanpun pemerintah atau pihak swasta ingin menggunakan lahan tersebut, maka saat itu juga petani harus siap kehilangan sawah garapannya.
ADVERTISEMENT
“Ya emang enggak ada perjanjian, enggak bayar sewa, tapi kapanpun dibongkar ya kita harus mau, meskipun waktu panen,” sebutnya.
Asmadi yang kini memiliki 7 orang cucu menjelaskan modal yang dibutuhkan untuk bercocok tanam padi cukup besar. Dari penanaman benih hingga menjadi gabah ia harus merogoh uang sebesar Rp 7 juta per hektare. Perhitungan tersebut sudah termasuk, pembelian obat, pupuk, dan perawatan sawah.
“Harga obat Rp 250 ribu per liter, seliter itu buat 1 hektare. Modalnya Rp 7 jutaan pengeluaran dari nandur (menanam), beli pupuk, kontraktor sawah,” jelas Asmadi.
Sebagian besar padi yang ditanamnya berjenis ciherang. Selain padi ciherang, ada juga padi jenis lain yang dia tanam seperti Kemuning dan Borang. Dalam sekali panen, lahannya seluas 2 hektare tersebut mampu memproduksi 10 ton gabah. Nantinya seluruh hasil panen tersebut akan dibeli oleh tengkulak.
ADVERTISEMENT
“Jual per kuintal habis panen, dihargai Rp 400 ribu,” imbuhnya.
Dalam mengerjakan lahannya, Asmadi mengaku mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bantuan tersebut ditujukan bagi seluruh petani yang berada di Marunda.
“Bibit 5 kantong, pupuk, obat. Lalu dikasih semprotan, ada sedikit bantuan dari pemerintah,” ucapnya.
Selain Asmadi, petani lainnya bernama Indra, menjelaskan dalam sekali panen mampu menghasilkan 9 ton gabah per hektare. Saat ini dia memiliki total lahan 3 hektare yang juga hanya sekali panen dalam setahun. Terkadang ia harus menanggung kerugian panen jika saja ada banyak hama yang terus menggerus benih padinya.
Oleh karenanya sebagian petani di sana menanam tanaman lain untuk menutupi kerugian seperti menanam cabai, kacang, kangkung, bayam, mentimun bahkan buah-buahan seperti pisang dan pepaya. Cara ini adalah bagian dari strategi mereka untuk menutup kerugian apabila terjadi musim kemarau panjang hingga serangan hama.
"Gangguan seperti hama, wereng tikus, burung, bisa-bisa (produksinya) enggak nyampe satu ton," katanya.
ADVERTISEMENT
Mengacu data Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP), Provinsi DKI Jakarta ternyata memiliki sawah dengan luas 571,17 hektare yang seluruhnya ditanami dengan komoditas padi.
Adapun sawah yang tersisa di Provinsi DKI Jakarta itu, lokasinya tersebar di Jakarta Utara dengan luas 408 hektare (71%), Jakarta Barat dengan luas 90,56 hektare (16%), dan terakhir Jakarta Timur dengan luas 72,61 hektare (13%).