Petani Keluhkan Harga Tembakau Turun saat Puncak Panen Imbas PP Kesehatan

11 September 2024 19:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani menyiram tanaman tembakau di lahan miliknya, Kedungadem, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (27/7/2023). Foto: Muhammad Mada/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Petani menyiram tanaman tembakau di lahan miliknya, Kedungadem, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (27/7/2023). Foto: Muhammad Mada/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengeluhkan harga tembakau merosot meskipun sudah memasuki masa puncak panen tembakau di seluruh Indonesia, salah satunya imbas pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum DPN APTI, Agus Parmuji, menjelaskan PP Kesehatan memperketat ruang gerak Industri Hasil Tembakau (IHT) alias rokok, terutama Pengaturan Zat Adiktif pada Pasal 429–463.
Hal ini diperparah dengan pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Agus menuturkan, jika sektor hilir industri rokok terdampak berupa penurunan konsumsi rokok, otomatis sektor hulu alias pertanian tembakau juga terdampak karena penyerapan hasil panen tembakau juga menurun dan berimbas pada anjloknya harga.
"Saat ini tembakau sedang memasuki masa panen, petani kita di seluruh Indonesia sedang memasuki masa panen bahkan menjelang puncaknya biasanya 15 September sudah memasuki panen puncak, tapi ini terjadi koreksi harga," ungkapnya saat konferensi pers bersama Apindo, Rabu (11/9).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, pada dasarnya harga komoditas tembakau memang berfluktuasi setiap tahunnya dan berbeda-beda di setiap sentra produksi. Namun jika harganya turun saat masa panen, maka ada faktor lain yang memengaruhi.
Pasalnya, APTI mencatat harga tembakau sedang baik sepanjang tahun 2023 alias mengalami rebound, hingga sebelum terbitnya PP Kesehatan pada Juli 2024 lalu. Harga tembakau di beberapa sentra produksi mengalami penurunan.
"Dengan keluarnya PP 28 ini ada beberapa sentra tembakau kami mengalami koreksi harga, ada sedikit penurunan, dan juga kita mengkhawatirkan adanya anomali iklim tahun ini memasuki La Nina, jadi musim hujan lebih awal," jelas Agus.
Agus mencontohkan harga tembakau di Bojonegoro, salah satu sentra produksi, mengalami penurunan dari Rp 55 ribu per kilogram pada tahun 2023, turun sekitar 10 persen menjadi kisaran Rp 30-50 ribu per kilogram.
ADVERTISEMENT
"Jadi antara Rp 30-50 ribu karena harga tembakau tidak satu harga, tapi sesuai dengan grade jadi tembakau bawah, tengah, dan atas harganya berbeda-beda," katanya.
Selain karena regulasi pemerintah yang memperketat peredaran rokok, Agus mengungkapkan faktor lain yang memengaruhi harga tembakau adalah masalah cuaca, di mana tahun ini Indonesia akan mengalami fenomena La Nina sehingga musim hujan diprediksi maju menjadi September atau Oktober.
Musim hujan yang terlalu cepat ini, kata dia, akan berdampak pada panen tembakau. Sebab, berbeda dengan komoditas pangan lainnya, tembakau malah tumbuh sangat baik ketika musim kemarau.
"Mungkin itu salah satu indikasi penurunan harga dan dari segi kualitas menurun, dan dari PP juga jadi isu juga," tegas Agus.
Petani menjemur tembakau rajangan di Desa Pamaroh, Pamekasan, Jawa Timur, Sabtu (29/8/2020). Foto: Saiful Bahri/Antara Foto
Pertaruhan Nasib 2,5 Petani Tembakau
ADVERTISEMENT
Agus menyoroti nasib sekitar 2,5 juta petani tembakau dipertaruhkan dengan penurunan penjualan rokok imbas PP Kesehatan dan turunannya. Pasalnya 99 persen hasil panen tembakau petani diserap oleh pabrik rokok.
"Jika penjualan mengalami penurunan, kalau pabrik tutup, kami jual ke mana lagi?" katanya.
Sebelum keluarnya beleid tersebut, lanjut dia, petani tembakau juga sudah merasakan tekanan dari kenaikan cukai tembakau yang konsisten naik setiap tahunnya serta pencabutan alokasi subsidi pupuk.
Dia menilai, kenaikan tarif cukai seharusnya bisa berdampak lurus pada kenaikan harga bahan baku atau tembakau. Namun dengan kondisi penurunan konsumsi rokok, maka para petani harus menelan pil pahit anjloknya harga tembakau.
"Nanti pada akhirnya semua industri rokok ingin membeli bahan baku secara murah untuk mengejar agar balance antara penjualan dengan biaya produksi," ucap Agus.
ADVERTISEMENT
Agus menegaskan bahwa PP Kesehatan dan aturan turunannya mengancam petani tembakau yang saat ini sedang dalam kondisi terbaiknya. Hal ini terlihat dari nilai ekspor tembakau yang moncer, sentuh USD 1,75 miliar selama 2023. Indonesia memang salah satu eksportir tembakau terbesar di dunia.
"Artinya harapan petani sedang tinggi-tingginya, justru mau dimusnahkan oleh pemerintah Indonesia itu sendiri, kami sangat kecewa dan sangat keberatan dengan keluarnya PP 28 dan RPMK yang sedang disusun," kata dia.