PHK Massal di Industri Padat Karya Diprediksi Terus Berlanjut hingga 2025

30 September 2024 16:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para buruh korban PHK membuat masker untuk penanganan virus corona, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cilincing, Jakarta, Selasa (7/4). Foto: Dok. Biro Humas Kemnaker
zoom-in-whitePerbesar
Para buruh korban PHK membuat masker untuk penanganan virus corona, di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cilincing, Jakarta, Selasa (7/4). Foto: Dok. Biro Humas Kemnaker
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di Indonesia diperkirakan terus berlanjut hingga 2025. Terutama di industri padat karya seperti industri manufaktur dan pengolahan.
ADVERTISEMENT
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan lonjakan PHK menjadi tren yang mengkhawatirkan di provinsi-provinsi seperti Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah.
Bhima menyebut bahwa salah satu faktor utama penyebab PHK adalah tekanan pada sektor ekspor, terutama akibat melemahnya permintaan dari China, Amerika Serikat, dan Eropa.
"Jika situasi memburuk dari sisi ekspor, kita akan melihat lebih banyak tekanan di sektor-sektor padat karya," kata Bhima kepada kumparan, Senin (30/9).
Selain masalah ekspor, Bhima juga menyoroti tingginya suku bunga perbankan yang meskipun sudah mengalami penurunan, tetap memberatkan para pengusaha.
"Pengusaha harus membayar biaya bunga yang tinggi dalam jangka waktu lama, sehingga memperburuk kondisi keuangan mereka," tambah Bhima.
ADVERTISEMENT
Selain masalah finansial, Bhima juga menyoroti kenaikan biaya bahan baku sebagai salah satu penyebab PHK. Dia menekankan bahwa ketidakpastian hukum di Indonesia membuat para pelaku usaha, terutama di sektor padat karya, merasa tidak nyaman dan kurang percaya diri untuk melanjutkan operasi bisnis.
Bhima juga menyinggung transisi pemerintahan yang saat ini sedang berlangsung. Menurutnya, banyak investor yang menunggu kepastian kebijakan dari pemerintahan baru, khususnya terkait susunan kabinet dan arah kebijakan ekonomi. Hal ini menyebabkan investasi tertahan dan berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi, sependapat bahwa PHK akan terus meningkat hingga akhir 2024. Menurut Tadjudin, sektor manufaktur dan media akan menjadi dua sektor yang paling terdampak.
ADVERTISEMENT
"Banyak industri manufacturing yang juga akan paham. Juga industri media. CNN itu katanya sudah di dalam beberapa waktu nanti akan ada sekitar 300 orang, INews juga seperti itu. Jadi nambah," kata Tadjudin.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hampir 53 ribu tenaga kerja kena PHK di Indonesia sepanjang Januari hingga September 2024.
Tadjudin mengatakan angka PHK saat ini masih kecil. Bahkan, dia memproyeksi angka PHK hingga akhir tahun mencapai 100 ribu.
“Menurut hemat saya 53 ribu kecil itu. Perkiraan PHK sampai akhir tahun sekitar 100 ribu. Mungkin lebih. Karena ada beberapa hal yang menyebabkan,” ungkapnya.
Menurut Tadjudin, sektor pengolahan, terutama yang terkait dengan produk makanan, otomotif, dan sepeda motor, akan menjadi yang paling terdampak. "Daya beli kelas menengah menurun, dan ini berdampak langsung pada sektor pengolahan. Ketika pasar menurun, produksi juga harus dikurangi. Untuk menekan biaya produksi, banyak perusahaan memilih opsi PHK," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Tadjudin juga menyebut bahwa di Jawa Barat, beberapa perusahaan bahkan sudah gulung tikar karena tidak sanggup lagi mempertahankan produksi.
“Di Jawa Barat, ada yang sudah gulung tikar. Jadi nggak sanggup lagi untuk berproduksi. Karena produksinya melimpah. Pasarnya menurun karena daya beli menurun,” pungkasnya.
Sebelumnya, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Kemnaker, Indah Anggoro Putri menjelaskan ada sebanyak 52.993 tenaga kerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga 26 September 2024.
“Total PHK per 26 September 2024 (sebanyak) 52.993 tenaga kerja,” tutur Indah kepada kumparan, Minggu (29/9).
Dari data tersebut, Jawa Tengah (Jateng) menempati posisi pertama provinsi dengan kasus PHK terbanyak, lalu disusul Banten, dan terakhir DKI Jakarta.
“Tiga Provinsi PHK terbesar (meliputi) satu Jawa Tengah 14.767 (tenaga kerja), dua Banten 9.114 (tenaga kerja), ketiga DKI Jakarta (sebanyak) 7.469 (tenaga kerja),” terang Indah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dari sisi sektor, Indah menuturkan, industri pengolahan masih menjadi sektor dengan kasus PHK tertinggi tahun ini, yaitu sebanyak 24.013 tenaga kerja. Disusul oleh sektor aktivitas jasa lainnya sebanyak 12.853 tenaga kerja dan pertanian, kehutanan, perikanan sebanyak 3.997 tenaga kerja.