Pinjaman ADB untuk Transisi Energi Indonesia, Bantuan atau Jebakan Utang Baru?

22 September 2024 18:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melakukan pengecekan termal kabel panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Sengkol kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Sengkol, Praya, Lombok Tengah, NTB, Senin (15/7/2024).  Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melakukan pengecekan termal kabel panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Sengkol kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Sengkol, Praya, Lombok Tengah, NTB, Senin (15/7/2024). Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) kembali memberikan pinjaman ke Indonesia. Kali ini senilai USD 500 juta untuk mendanai program transisi energi.
ADVERTISEMENT
Komitmen pembiayaan ADB dalam transisi energi ini dinilai menimbulkan sejumlah permasalahan. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan transisi energi membutuhkan dana yang cukup besar. Namun, bukan berarti RI perlu menambah beban utang lagi.
Jumlah utang pemerintah saat ini sudah lebih dari Rp 8.500 triliun. Belum ditambah beban utang jatuh tempo plus bunga di 2025 sebesar Rp 1.350 triliun, yang sebagian akan dibayar lewat penambahan utang baru.
“Maka estimasi tahun depan utang pemerintah bisa tembus Rp 9.500 hingga Rp 10.000 triliun. Tambahan beban utang baru dari ADB akan mempersempit ruang fiskal, dan meningkatkan ketergantungan pada utang luar negeri,” kata Bhima kepada kumparan, Minggu (22/9).
Selain ADB, Indonesia juga tak boleh melupakan skema kemitraan JETP yang hanya memberikan porsi hibah 1,32 perseb setara USD 284,4 juta dari total komitmen USD 21,6 miliar. Sementara pinjaman dengan persyaratan (concessional loan) cukup dominan.
Warga melintas menggunakan kendaraan roda dua di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Jeneponto di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Bhima menyebut, pemerintah idealnya lebih tegas dalam mendesak ADB, maupun lembaga keuangan internasional lain, agar memberikan porsi hibah lebih besar. Sebagai bentuk tanggung jawab negara maju dan lembaga multilateral dalam membantu negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Transisi energi di Indonesia, menurut dia, yang terlalu bertumpu pada utang akan menciptakan persepsi bahwa transisi energi itu mahal dan tidak menguntungkan. Bahkan pinjaman ini dapat masuk pada kategori Structural Adjustment Program (Penyesuaian Struktural), yakni upaya untuk memberi pinjaman bersyarat perubahan regulasi, dengan kedok membantu negara berkembang dalam melakukan transisi energi.
"Kondisinya deja vu dengan model SAP pada krisis 1998. Bedanya saat ini krisis iklim yang dijadikan jalan masuk oleh lembaga kreditur asing,” ungkap Bhima.
Dia mengatakan, sebagian besar dari dana yang diterima Indonesia yakni sebesar USD 300 juta akan diperuntukan bagi pembiayaan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Melalui inventarisasi media dan riset lapangan, CELIOS menemukan bahwa dari 18 PLTP terpasang, keberadaan 15 di antaranya diwarnai masalah. Terutama terkait kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar PLTP. Mulai dari dampak lingkungan, berupa keringnya tanaman produksi yang berpotensi disebabkan oleh keluaran gas hidrogen sulfida (H2S) dari pembangkit, dan pencemaran air tanah yang berkorelasi dengan proses fracking dan penyuntikan sisa pengolahan uap air ke dalam tanah. Selain itu, juga ada dampak penghidupan atas hilangnya tanah garapan.
Asian Development Bank (ADB) Country Director for Indonesia, Jiro Tominaga dalam ADB Asian Development Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (16/5/2024). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
Tak hanya itu, seringkali terjadi penyelewengan hukum adat dan proses sertifikasi tanah yang berujung pada konflik sosial. Utamanya, dampak kesehatan bagi para warga sekitar yang kerap terjadi karena kecelakaan kerja berupa kebocoran atau meledaknya pipa uap sumur atau pembangkit. Ini mengakibatkan ratusan orang dilarikan ke rumah sakit karena keracunan, bahkan berujung kematian.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga, mengatakan program transisi energi yang terjangkau dan berkelanjutan akan mendukung berbagai langkah kebijakan Indonesia dalam mencapai kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) dan target emisi bersih nol dari pembangkitan listrik pada 2050.
“Indonesia berada di persimpangan yang sangat penting dalam perjalanan transisi energinya,” kata Jiro.
Jiro menjelaskan, pesatnya pertumbuhan kapasitas pembangkitan listrik telah membantu Indonesia mengatasi sebagian besar kendala pasokan listriknya. Tetapi mengakibatkan sangat ketergantungan kelistrikannya pada sumber tenaga berbasis bahan bakar fosil seperti batubara, gas, dan diesel.