PLN Butuh Investasi Rp 2.700 T Bangun Pembangkit EBT hingga Transmisi Hijau

15 April 2025 13:00 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Situasi PLTA Cirata, satu-satunya PLTA bawah tanah (underground) di Indonesia. Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Situasi PLTA Cirata, satu-satunya PLTA bawah tanah (underground) di Indonesia. Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
ADVERTISEMENT
PT PLN (Persero) membutuhkan investasi sekitar USD 162 miliar atau setara Rp 2.722 triliun (kurs Rp 16.805 per dolar AS) untuk keperluan transisi energi, mulai dari proyek pembangkit energi baru terbarukan (EBT) hingga jaringan transmisi hijau.
ADVERTISEMENT
Direktur Manajemen Risiko PLN Suroso Isnandar mengatakan transisi energi menjadi peluang bisnis potensial setidaknya dalam 10 tahun ke depan. Untuk itu, PLN membutuhkan kolaborasi dan komitmen besar dari seluruh pihak.
"Untuk pembangunan infrastruktur ini, Indonesia akan membutuhkan total investasi setidaknya USD 162 miliar. Perkiraan ini belum termasuk belanja modal dan juga infrastruktur dan konstruksi," ungkapnya saat Konferensi PLTA Indonesia-Swiss 2025, Selasa (15/4).
Dari total angka tersebut, lanjut Suroso, sebesar USD 59 miliar atau atau hampir Rp 1.000 triliun diperuntukan bagi proyek pembangkit EBT seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP).
Suroso menuturkan, saat ini PLN mengoperasikan lebih dari 75 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit terpasang. Namun, pembangkit berbasis batu bara masih mendominasi bauran bahan bakar sebesar 66 persen, sementara EBT hanya 13 persen.
ADVERTISEMENT
Secara rinci, dia menyebutkan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara masih lebih dari 40 GW, diikuti dengan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 22 GW. Sementara kapasitas PLTA terpasang hanya 7,6 persen, atau 5,7 GW.
"Namun saat ini kita berada di titik balik, kita berada di persimpangan jalan. Kita sedang mengubah cara kita melihat armada bahan bakar thermal kita yang ada bergerak menuju energi terbarukan di masa mendatang," jelas Suroso.
Peluncuran Konferensi PLTA Indonesia-Swiss 2025 di kantor Pusat PLN, Selasa (15/4/2025). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Dalam perhelatan COP29 di Azerbaijan beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk membangun lebih dari 70 GW kapasitas tambahan, di mana hampir 60 persen akan berasal dari energi bersih.
Selain itu, lanjut Suroso, pemerintah dan PLN juga berencana meluncurkan Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang terbaru, dengan kapasitas pembangkit tambahan sekitar 71,2 GW.
ADVERTISEMENT
"Dan dari jumlah tersebut, 59 persen akan berasal dari sumber energi terbarukan, sedangkan 11,7 GW, hampir 28 persen akan berasal dari tenaga hidro besar dan mini," ujar Suroso.
Selain PLTA, Indonesia juga akan mengembangkan pembangkit EBT lain seperti PLTP hingga 5,1 GW, biomassa 1 GW, PLTS 16,9 GW, PLTB 7,2 GW. Sehingga total 41,9 GW pembangkit berasal dari sumber daya EBT.
Suroso mengatakan, PLN juga menaruh harapan besar bagi pengembangan PLTA yang bisa memasok listrik lebih fleksibel, bersih, dan cenderung stabil. Indonesia setidaknya punya potensi tenaga air yang teridentifikasi mencapai 29 GW dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.
Meski demikian, dia menyebutkan terdapat tantangan dari pengembangan PLTA yang sumbernya jauh dari pusat permintaan yang sebagian ada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, PLN harus membangun green-enabling supergrid atau jaringan transmisi hijau yang akan mengatasi ketidaksesuaian pasokan dan permintaan.
ADVERTISEMENT
"Untuk 10 tahun ke depan, dalam rencana pengembangan ketenagalistrikan, kita harus membangun setidaknya 48.000 km jaringan transmisi, dan untuk masa depan yang lebih panjang, skenario transmisi bisa mencapai 63.000 km transmisi," ungkap Suroso.
Suroso menegaskan, seluruh proyek transisi energi itu tidak bisa dilakukan oleh PLN sendiri, melainkan harus dengan bantuan lain baik itu pemerintah maupun sektor swasta.
"Kapasitas PLN tidak akan cukup untuk membangun infrastruktur baru ini. Kita harus terbuka untuk berkolaborasi dan mengatasi tantangan tersebut secara efektif. Kolaborasi yang kuat dan berkelanjutan antara negara, industri, masyarakat," tuturnya.