PLTS Atap Bisa Dikembangkan Tanpa Bebani PLN dan APBN, Ini Solusinya

20 Agustus 2021 7:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian EDSM, Jakarta, Rabu (24/3). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian EDSM, Jakarta, Rabu (24/3). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Pemerintah diminta mencari jalan tengah agar pengembangan PLTS Atap tidak membebani APBN dan PLN. Saat ini pemerintah tengah menyusun revisi atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap Oleh Konsumen PT PLN (Persero).
ADVERTISEMENT
Salah satu klausul dalam revisi aturan tersebut adalah kewajiban PLN untuk membeli 100 persen listrik dari PLTS Atap sisa daya yang tidak terpakai oleh konsumen, dari sebelumnya hanya 65 persen.
Sebagai salah satu upaya mengejar target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, Kementerian ESDM menargetkan kapasitas total PLTS Atap bisa mencapai 3,6 Gigawatt (GW).
Kebijakan itu bakal berdampak negatif pada keuangan PLN. Sebab, penjualan listrik PLN ke pelanggan otomatis pasti turun. Ditambah lagi, PLN diharuskan membeli seluruh kelebihan pasokan listrik dari PLTS Atap milik pelanggan. Berdasarkan kajian Kementerian ESDM, diperkirakan PLN akan kehilangan pendapatan hingga Rp 5,7 triliun per tahun.
Seorang warga melintas di bawah panel surya Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/1). Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Mantan Anggota Dewan Energi Nasional, Mukhtasor, mengusulkan kebijakan lain agar pengembangan PLTS Atap bisa murah tanpa membebani keuangan PLN dan APBN. Ia menyarankan pemerintah memberikan kompensasi atau insentif di hulu, bukan di hilir.
ADVERTISEMENT
Caranya dengan menurunkan biaya modal. Di hulu, industri pemasok PLTS diberikan kompensasi, sehingga harga PLTS Atap bisa lebih murah. Dengan begitu, tarif ekspor listrik dari PLTS Atap juga bisa ditekan.
“Khusus PLTS Atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa,” kata dia dalam diskusi yang digelar E2S secara virtual, Kamis (19/8).
Menurut Mukhtasor, jika selisih harga listrik PLTS Atap dibayar oleh APBN itu akan membebani. Kalau asumsinya negara mampu, APBN harus dialokasikan untuk investasi EBT. Negara mengambil peran kepemimpinan dan terdepan dalam transisi energi dengan mengintegrasikannya lewat transisi industri nasional di bidang EBT di dalam negeri.
“Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan memberatkan negara. Solusinya komprehensif dengan cara rantai pasok diperkuat,” ungkap dia.
ADVERTISEMENT
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip, mengingatkan bahwa pasokan listrik di Jawa dan Bali sebenarnya sudah sangat berlebih. Pengembangan PLTS Atap harus memperhitungkan hal ini.
“Jangan sampai pengembangan masif PLTS Atap malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen,” ujar dia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya, menjamin bahwa pemerintah tidak akan membuat PLN rugi. Pendapatan PLN yang hilang akibat pengembangan PLTS Atap akan diganti. "Kementerian ESDM juga menjaga PLN. Ada beberapa trade off, salah satunya carbon price, itu akan dialokasikan untuk PLN," tutupnya.
ADVERTISEMENT