Populer: Kopi Indonesia Terancam Kalah Saing; Daftar Barang Bebas PPN 12 Persen

16 Desember 2024 6:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelaku usaha Raya Sadianor mengaduk biji kopi di industri rumahan Indu Kuh Coffe, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (6/11/2024). Foto: Auliya Rahman/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pelaku usaha Raya Sadianor mengaduk biji kopi di industri rumahan Indu Kuh Coffe, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (6/11/2024). Foto: Auliya Rahman/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kabar mengenai kopi robusta dan arabika asal Indonesia yang memiliki aroma khas terancam kalah saing dengan kopi negara lain, menjadi berita populer di kumparanBisnis sepanjang Minggu (15/12).
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga informasi mengenai daftar barang dan jasa yang tidak kenakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Berikut rangkumannya.
Kopi Indonesia Terancam Kalah Saing, Ini Biang Keroknya
Indonesia dikenal sebagai negara penghasil robusta dan arabika yang memiliki aroma khas. Namun, dibalik harum kopi itu, terdapat tantangan besar soal produktivitas yang tertinggal dari negara pesaing.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia berhasil memproduksi 758,7 ribu ton kopi di 2023. Jumlah itu menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga penghasil kopi terbesar dunia setelah Brasil dan Vietnam.
Di samping itu, BPS mencatat ekspor kopi Indonesia sepanjang Januari hingga September 2024 mencapai 342,33 ribu ton dengan nilai USD 1,49 miliar. Angka ini meningkat 29,82 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar USD 1,15 miliar.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa menjelaskan, Indonesia bisa menduduki peringkat ketiga bukan karena peningkatan produktivitas. Namun karena adanya penurunan negara lain.
Dunia Kopi di Pasar Santa. Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
"Sebelumnya Indonesia itu peringkat empat untuk produksi kopi dunia. Sekarang peringkat tiga. Jadi kopi itu sampai tahun 2020 kita itu peringkat empat. Tahun 2021 kita masuk peringkat tiga. Mungkin karena ada negara lain yang turun peringkatnya karena apa, penambahan produksi kopi kita juga tidak begitu bagus. Jadi ya hampir samalah (produksi kopi) di sekitar 750 ribu sampai 800 ribu ton per tahunnya," kata Andreas kepada kumparan.
Produksi kopi Indonesia tahun 2022 tercatat sekitar 794 ribu ton. Angka ini jauh di bawah Vietnam yang memproduksi 1,95 juta ton dan Brasil yang mendominasi dengan 3,2 juta ton. Sehingga, meskipun peringkat Indonesia naik, kesenjangan produktivitas dengan negara-negara pesaing tetap signifikan.
ADVERTISEMENT
Departemen Specialty & Industri BPP Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Moelyono Soesilo, mengatakan produktivitas tanaman kopi Tanah Air jadi biang kerok permasalahan ini.
Dia membeberkan, produktivitas kopi Indonesia hanya mencapai 1,02 ton hingga 1,2 ton per hektare atau sekitar 17-20 karung. Sebagai perbandingan, Vietnam mampu menghasilkan 3 hingga 3,6 ton per hektare atau sekitar 50-60 karung.
PPN 0 Persen untuk Kebutuhan Pokok Bisa Kurangi Beban Masyarakat
Aktivitas penjual ikan di salah satu pasar tradisional di Jakarta, Kamis (27/6/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, mengatakan PPN 0 persen untuk barang dan jasa kebutuhan pokok bisa mengurangi beban masyarakat.
Meskipun Esther melihat hal yang lebih penting untuk dilakukan pemerintah adalah menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.
“PPN 0 persen bisa mengurangi beban masyarakat tetapi yang lebih penting menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok agar tidak volatile,” ungkap Esther kepada kumparan, Sabtu (14/12).
ADVERTISEMENT
Senada dengan Esther, Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda juga mengatakan hal yang sama. Menurut dia, langkah pemerintah melanjutkan kebijakan mengenai PPN 0 persen untuk barang dan jasa kebutuhan pokok dapat membantu menjaga daya beli.
“Bagi masyarakat menengah dan bawah, tentu ini efektif untuk menjaga daya beli. Tapi memang daya beli masyarakat yang cukup terdampak adalah masyarakat kelas menengah di mana konsumsi barangnya sekunder dan tersier cukup tinggi," ujar Nailul.
"Ketika dikenakan pajak 11 persen di tahun 2022, daya beli mereka langsung turun. Jumlah kelas menengah menyusut,” tambahnya.