Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Populer: Netflix dkk Bisa Kena Bea Masuk; Fakta Perusahaan Cabut dari Karawang
19 Juni 2022 6:14 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kabar tersebut jadi salah satu berita populer kumparanBisnis pada Sabtu (18/6). Berita lainya yang ramai dibaca adalah soal fakta-fakta banyak perusahaan cabut dari kawasan industri Karawang. Berikut rangkumannya:
Netflix Hingga Spotify Bisa Kena Bea Masuk
Produk digital pada tahun 2024 mendatang akan dikenakan bea masuk.Saat ini, tarif bea masuk untuk produk digital masih sebesar 0 persen alias masih dibebaskan. Pembebasan biaya masuk itu sesuai dengan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), yang melakukan moratorium bea masuk produk digital sejak 1998 dan akan berakhir pada Maret 2024.
Direktur Kerja Sama Internasional Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Anita Iskandar, mengatakan bahwa Indonesia tak ingin moratorium itu dilanjutkan. Artinya, pemerintah ingin mengenakan tarif pada bea masuk produk digital.
ADVERTISEMENT
Menurut Anita, jika hingga akhir Desember 2023 belum diadakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di WTO, Indonesia akan mengambil sikap menolak moratorium tersebut. Namun demikian, pemerintah belum menentukan besaran tarif bea masuk yang akan dikenakan untuk produk digital seperti Google, Netflix, Spotify, dan lainnya.
Di satu sisi, Anita juga mengakui bahwa ekosistem digital di Indonesia saat ini masih terus bertumbuh. Sehingga, pemerintah masih terus mengkaji besaran tarif bea masuk yang ideal.
Fakta Banyak Perusahaan Cabut dari Karawang
Ratusan perusahaan di Kabupaten Karawang angkat kaki dari wilayah industri tersebut. Hal itu disebabkan karena para pengusaha menilai upah buruh di wilayah Karawang terlampau tinggi.
Saat ini upah buruh di Kabupaten Karawang mencapai Rp 4.798.312. Upah ini adalah urutan kedua upah tertinggi setelah Kota Bekasi.
ADVERTISEMENT
Berikut fakta-faktanya:
Perusahaan yang Bertahan Tersisa 900
Ketua Apindo Karawang, Abdul Syukur menuturkan saat ini perusahaan yang masih bertahan dan beroperasi di Karawang tersisa 900 saja. Berbanding terbalik dengan kondisi di tahun 2018, di mana terdapat 1.752 perusahaan yang beroperasi di Karawang.
Banyak Perusahaan Pilih Pindah ke Daerah Upah Rendah
Abdul Syukur menyebutkan banyak perusahaan kemudian memilih pindah ke daerah yang UMK-nya tidak begitu tinggi. Menurutnya perusahaan-perusahaan tersebut memilih pindah ke daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta.
Meledaknya Angka Pengangguran di Karawang
Kondisi akibat angkat kaki perusahaan di Karawang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran di sana. Perusahaan terpaksa harus memutus hubungan kerja sebelum pindah ke daerah lain.
Abdul Syukur mengungkapkan jumlah pengangguran di Karawang bertambah hingga 36 ribu dari karyawan yang terkena PHK.
ADVERTISEMENT
Perusahaan Sulit Dapat Tenaga Kerja yang Dibutuhkan
Asosiasi HRD (Human Resource Development) Karawang menyebutkan penyebab meledaknya angka pengangguran di Karawang selain faktor upah yang tinggi adalah karena perusahaan sulit menemukan tenaga kerja yang pas sesuai kompetensi dan kriteria yang diperlukan perusahaan,sulit menemukan tenaga kerja yang pas sesuai kompetensi dan kriteria yang diperlukan perusahaan.
Kemnaker Buka Suara soal Perusahaan di Karawang Cabut karena Upah Buruh Tinggi
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) buka suara terkait hengkangnya ratusan perusahaan dari Karawang karena upah buruh tinggi. Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari membenarkan terjadinya eksodus besar di Karawang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Dita mengatakan, jenjang upah minimum (UM) yang bertingkat membuat upah riil naik sangat tinggi. Mulai dari UMP, UMK, UMS lalu UMSK (upah minimum sektoral kota/kabupaten).
ADVERTISEMENT
Menurut Dita, tingginya UM sangat berbanding terbalik dengan kondisi di tiap sektor. "Ada sektor yang produktivitasnya tinggi, ada yang sedang, ada yang rendah. Sehingga, jika sektor yang kategori sedang dan rendah harus menggunakan pola UM di atas, mereka nggak akan sanggup," imbuhnya.