Populer: Skor PISA Indonesia Rendah; Ekonomi RI Disebut Mandel 20 Tahun Terakhir

24 November 2024 6:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy dalam gelaran Sosialisasi Undang-undang (UU) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (RPJPN) 2025-2045 di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Selasa (19/11/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy dalam gelaran Sosialisasi Undang-undang (UU) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (RPJPN) 2025-2045 di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Selasa (19/11/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Rachmat Pambuddy mengeluhkan skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia masih rendah, meskipun anggaran sektor pendidikan sudah sangat besar. Kabar ini menjadi salah satu berita paling banyak dibaca sepanjang Sabtu (23/11).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ada juga kabar tentang ekonomi Indonesia yang disebut mandek dalam 20 tahun terakhir. Berikut rangkuman berita populer di kumparanBisnis:
Skor PISA Indonesia Rendah
Ilustrasi kantin sekolah. Foto: Shutterstock
Rachmat mengatakan, kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih relatif rendah, terlihat pada angka Indeks Modal Manusia Indonesia pada tahun 2020 sebesar 0,54, jauh di bawah Singapura sebesar 0,88.
Selain itu, lanjut dia, Skor PISA Indonesia juga masih sangat rendah. Pada tahun 2022, Skor PISA Indonesia yaitu Matematika 366, Membaca 359, dan Sains 383.
Angka tersebut ternyata masih di bawah rata-rata negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu Matematika 472, Membaca 476, dan Sains 485.
"Skor PISA Indonesia yang masih relatif tertinggal jika dibandingkan rata-rata negara OECD, ini akan menjadi tantangan kita," kata Rachmat saat CORE Economic Outlook 2025, Sabtu (23/11).
ADVERTISEMENT
Rachmat menyoroti kondisi ini terjadi meskipun anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan terbilang tinggi. Hal ini berkat kebijakan mandatory spending untuk sektor pendidikan dan kesehatan sebesar 20 persen dari APBN.
"Kemarin kami berdiskusi dan kita juga melihat dari budget dan pengeluaran pemerintah kita, pemerintah kita sudah mengeluarkan anggaran pendidikan 20 persen selama lebih dari 20 tahun, saya tidak tahu persis apakah lebih," tuturnya.
"Tapi dengan anggaran pendidikan yang relatif tinggi, ternyata skor PISA kita tidak beranjak dan kita relatif masih tertinggal jauh di bawah rata-rata negara OECD," tegas Rachmat.
Ekonomi RI Disebut Mandel 20 Tahun Terakhir
Suasana pedagang di kantin SMAN 23 Jakarta. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Di samping itu, Rachmat Pambudy juga mempertanyakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir stagnan alias tidak beranjak dari kisaran 5 persen.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar tidak terjebak dalam middle income trap alias perangkap negara berpendapatan menengah. Bappenas menilai, Indonesia harus mampu lepas dari jebakan itu sebelum 100 tahun kemerdekaan alias pada tahun 2045.
Presiden Prabowo Subianto sudah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional di masa pemerintahannya atau selama periode 2025-2029, bisa mencapai 8 persen. Meski demikian, Rachmat heran mengapa ekonomi di Indonesia masih tumbuh stagnan.
"Saya merasa agak semacam, bukan bertanya, tetapi merenung sejenak. Mengapa selama 20 tahun terakhir ini perekonomian kita tidak beranjak tumbuh sekitar 5 persen, tidak jauh dari 5 persen?" katanya.
Rachmat mengatakan, kondisi saat ini berbeda cukup signifkan dari periode 1970-1980. Tercatat, pertumbuhan ekonomi tertinggi di zaman Orde Baru bisa mencapai 10,92 persen pada 1968, kemudian pada 1980 Indonesia juga bisa mencapai pertumbuhan 9,88 persen.
ADVERTISEMENT
Namun sejak tahun 2004 alias 20 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 4-6 persen, kecuali ketika pandemi COVID-19 melanda. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 6,35 persen.
"Dan mengapa kita tidak bisa tumbuh di atas 5 persen, seperti yang pernah kita alami pada tahun 70-an, 80-an, ketika kita mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi sekaligus kita juga mengalami pemerataan yang cukup baik pada masa itu," lanjut Rachmat.