Potensi Ekonomi Restoratif RI Rp 2.208 T, Bisa Bantu Danai Makan Bergizi Gratis

26 November 2024 12:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah siswa menyantap makanan saat simulasi program Makan Siang Bergizi Gratis di sekolah wilayah Lanud Halim Perdanakusuma di SDS Angkasa 5 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (26/11/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah siswa menyantap makanan saat simulasi program Makan Siang Bergizi Gratis di sekolah wilayah Lanud Halim Perdanakusuma di SDS Angkasa 5 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (26/11/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan pendekatan ekonomi restoratif di Indonesia berpotensi menghasilkan perputaran ekonomi hingga Rp 2.208 triliun. Ekonomi restoratif adalah salah satu langkah pembangunan yang mementingkan lingkungan hingga sosial berkelanjutan
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tercantum dalam laporan riset berjudul "Menghitung Dampak Ekonomi Restoratif: Jalan Keluar Kebuntuan Ekonomi" yang dirilis oleh CELIOS.
CELIOS menyebutkan, model ekonomi yang berlangsung hingga saat ini terbukti memicu eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, serta memicu kemiskinan secara struktural. Sebab, sumber daya alam dikeruk untuk industri ekstraktif dan namun tidak menghasilkan nilai tambah yang berarti untuk masyarakat sekitar.
Ekonomi restoratif memadukan pemulihan ekosistem dengan pertumbuhan ekonomi inklusif, dinilai terbukti mampu mengurangi ketimpangan sosial, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja baru.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara menekankan pentingnya ekonomi restoratif yang sejalan dengan upaya mendorong ketahanan pangan, salah satunya mendukung pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kata dia, bisa mendorong praktik perkebunan dan perikanan berkelanjutan untuk di integrasikan dalam pasokan MBG, sehingga pangan lokal bisa diprioritaskan.
ADVERTISEMENT
"Strategi ini bisa membantu penurunan biaya logistik MBG dan mengoptimalkan dampak ke petani serta pelaku usaha lokal. Dibandingkan memilih impor pangan untuk MBG, prioritaskan dulu potensi pangan restoratif," kata Bhima melalui keterangan resmi, Selasa (26/11).
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, di Hotel Mercure Sabang, Kamis (25/1/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Selain itu, lanjut dia, program ekonomi restoratif dapat digabungkan dengan konsep intensifikasi pertanian yang berbeda dari pembukaan lahan baru. Menurutnya, kebutuhan lahan pertanian yang cukup besar untuk memenuhi ketahanan pangan dapat memberikan efek terhadap risiko lingkungan, dan padat modal.
"Melihat output ekonomi restoratif yang menembus Rp 2.208 triliun, maka pemerintah sebaiknya fokus pada pengembangan teknologi tepat guna, fungsi agregator produk restoratif hingga pendampingan bagi masyarakat yang menjaga hutan. Lebih relevan model ekonomi restoratif untuk menjawab target ketahanan pangan, dibandingkan food estate," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Hasil riset CELIOS menunjukkan bahwa peningkatan 1 persen alokasi Produk Domestik Bruto (PDB) untuk inisiatif ekonomi restoratif dapat menurunkan rasio Gini hingga 15 persen, meningkatkan lapangan pekerjaan sebesar 14 persen, dan mengurangi tingkat morbiditas hingga 11 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa investasi dalam ekonomi restoratif tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Riset tersebut juga menunjukkan bahwa pengembangan ekonomi restoratif sangat bergantung pada dukungan kebijakan pemerintah. Dalam skenario Business as Usual (BAU) yang minim dukungan kebijakan, output ekonomi dari sektor ekonomi restoratif pertanian, perkebunan, dan perikanan diperkirakan hanya mencapai Rp 203,26 triliun pada tahun ke-25.
Sebaliknya, dengan kebijakan ekonomi yang progresif seperti insentif pajak dan program subsidi, output ekonomi dapat melonjak hingga Rp 2.208,7 triliun.
ADVERTISEMENT
Peneliti Ekonomi CELIOS Jaya Darmawan menyoroti pentingnya pemberdayaan masyarakat lokal. Dia menyebut, ekonomi restoratif memberikan peluang besar untuk mendistribusikan pendapatan secara lebih adil.
"Dalam skenario Progresif, kompensasi tenaga kerja meningkat menjadi Rp 842,1 triliun pada tahun ke-25, dibandingkan dengan Rp 64,9 triliun pada BAU. Distribusi pendapatan yang lebih merata tidak hanya mengurangi kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial," jelasnya.
Studi CELIOS juga menawarkan Roadmap Pengembangan Ekonomi Restoratif menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Dalam lima tahun pertama (2025–2030), pemerintah dapat fokus pada kebijakan insentif pajak, penguatan regulasi perlindungan lingkungan, dan pembentukan dana investasi khusus untuk proyek restoratif.
Lima tahun berikutnya (2030–2035), fokus pada pengembangan infrastruktur hijau, teknologi berkelanjutan, dan integrasi ekonomi restoratif dalam RPJMD, serta peluncuran program restorasi ekosistem di daerah. Pada lima tahun terakhir (2035–2040), ekspansi program restorasi ekosistem dapat dilakukan, dengan evaluasi dan penyesuaian kebijakan berbasis data.
ADVERTISEMENT
Laporan ini menegaskan bahwa ekonomi restoratif tidak hanya relevan dalam konteks pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai solusi keberlanjutan jangka panjang. Dengan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, meningkatkan kualitas lingkungan, dan memastikan distribusi pendapatan yang adil, ekonomi restoratif menjadi jalan keluar untuk menciptakan perekonomian yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan tangguh.