PPN Naik Jadi 12 Persen di 2025, Pemerintah Mesti Beri Stimulus Kelas Menengah

12 Oktober 2024 16:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi karyawan kecapekan kerja. Foto: CrizzyStudio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi karyawan kecapekan kerja. Foto: CrizzyStudio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan. Kenaikan PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam aturan tersebut, tarif PPN bisa naik dari semula 11 persen menjadi 12 persen sebelum 1 Januari tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kenaikan PPN ini tidak akan terlalu memberatkan masyarakat, selama penerimaan pajak digunakan dengan tepat. Untuk program-program yang mendukung masyarakat berpenghasilan rendah.
"Kenaikan PPN tidak terlalu memberatkan masyarakat. Kuncinya, kenaikan penerimaan PPN digunakan untuk program-program yang bermanfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah, seperti MBG (Makanan Bergizi Gratis), sekolah gratis, perbaikan layanan dan coverage kesehatan, subsidi rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Wija kepada kumparan, Sabtu (12/10).
“Jika tidak, maka berpotensi menaikkan ketimpangan, mengingat PPN dikenakan sama rata untuk masyarakat ekonomi atas, menengah, dan bawah," imbuhnya.
Ia menambahkan, peningkatan penerimaan negara akibat kenaikan PPN ini diperkirakan hanya sekitar Rp 60 triliun hingga Rp 80 triliun.
"Peningkatan penerimaan akibat kenaikan PPN tidak terlalu banyak, mungkin hanya sekitar Rp 60 triliun hingga Rp 80 triliun," ujar Wija.
ADVERTISEMENT
Untuk memastikan sistem perpajakan yang lebih adil, ia juga menyarankan agar pemerintah meningkatkan tata kelola penarikan pajak dan mengurangi insentif yang terlalu besar di sektor sumber daya alam.
"Secara paralel, pemerintah perlu meningkatkan GCG (good corporate governance) penarikan pajak, dan mengurangi insentif berlebih untuk sektor tertentu, terutama SDA. Dengan begitu, situasi perpajakan kita makin fair; dan penerimaan negara terbantu secara signifikan," katanya.
Menurut Wija, pemerintah perlu memberikan stimulus untuk kelas menengah yang terkena dampak kebijakan ini. Stimulus ini bisa diberikan secara langsung atau tidak langsung.
"Perlu diberikan stimulus, bisa langsung ke kelas menengah, bisa juga ke sektor yang mempekerjakan kelas menengah," tegasnya.
Sementara itu, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai bahwa dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat umum akan terbatas. Mengingat banyaknya fasilitas dan insentif PPN yang sudah diberikan.
ADVERTISEMENT
"Dampak kenaikan PPN akan terbatas mengingat banyaknya fasilitas dan insentif PPN yang diberikan ke masyarakat," ujar Fajry.
Ia mencontohkan bahwa transaksi kecil seperti membeli bakso atau gorengan di kaki lima tidak dikenakan PPN. Menurutnya, PPN hanya dikenakan pada pedagang yang memiliki omzet lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun.
"PPN wajib pungut ketika pedagang punya omzet lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun. Selama membeli dari usaha mikro dan kecil, tidak kena PPN," ungkap Fajry.
Barang dan jasa tertentu seperti sembako dan layanan pendidikan juga dikecualikan dari PPN, sehingga dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi tidak signifikan. "Dan ada barang/jasa tertentu yang bebas PPN seperti sembako dan jasa pendidikan. Makanya, dahulu, dampak kenaikan tarif PPN ke inflasi pada tahun 2022 hanya 0,4 persen," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Fajry menekankan bahwa manajemen kebijakan yang baik adalah kunci untuk mengurangi dampak regresif dari PPN, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.
"Meski demikian, yang penting adalah manajemen pengelolaan kebijakan. Salah satunya dampak regresif dari PPN. Di sinilah Pemerintah dapat gunakan sisi spending-nya yakni melalui perlinsos (perlindungan sosial)," pungkasnya.