Prabowo Targetkan RI Bebas Emisi 2050, Sinyal Positif Kebut Transisi Energi

23 November 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PLTS Ground-Mounted Terbesar di Indonesia, berlokasi di Purawakarta, Jawa Barat, Rabu (28/8/2024). Foto: Dok. PLN
zoom-in-whitePerbesar
PLTS Ground-Mounted Terbesar di Indonesia, berlokasi di Purawakarta, Jawa Barat, Rabu (28/8/2024). Foto: Dok. PLN
ADVERTISEMENT
Komitmen Presiden Prabowo Subianto bahwa Indonesia bisa mencapai target karbon netral (net zero emission) sebelum 2050 menjadi sinyal positif pemerintah mempercepat transisi energi.
ADVERTISEMENT
Target tersebut disampaikan Prabowo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada Selasa (19/11). Dia mengungkapkan dengan melimpahnya sumber daya, Indonesia juga berencana untuk menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam 15 tahun ke depan.
Hal senada diungkapkan pula dalam forum APEC CEO Summit Peru 2024. Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan mencapai swasembada energi hijau dalam beberapa tahun ke depan dan 100 persen listrik yang dipasok dari energi terbarukan dalam waktu sepuluh tahun.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pernyataan untuk menghentikan operasi PLTU di 2040 dan mencapai 100 persen energi terbarukan dalam kurun waktu yang serupa merupakan sinyal positif dari ambisi Prabowo untuk mempercepat transisi energi di Indonesia dan mendukung pembatasan pemanasan bumi sebesar 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris.
Presiden Prabowo Subianto memberikan salam hormat saat ingin melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer di London, Inggris, Kamis (21/11/2024). Foto: Mina Kim/Pool via Reuters
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan pengakhiran operasi PLTU batu bara adalah langkah krusial untuk mencapai target transisi energi berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Fabby menyebut, ambisi presiden untuk mewujudkan rencana swasembada energi hijau perlu dilanjutkan dengan kepemimpinan dan perintah tegas kepada para menteri terkait dan PLN untuk menyusun target, peta jalan yang rinci, rencana yang terukur, yang didukung dengan kebijakan dan regulasi yang selaras untuk mencapai target tersebut.
Dengan begitu, kata dia, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan pengakhiran operasi PLTU sebagaimana yang diamanatkan oleh Perpres No. 112/2022 dengan jangka waktu 2040.
"Sehingga dapat menentukan secara pasti tahapan pengakhirannya, skema pendanaan dan pembiayaan, pembangunan kapasitas energi terbarukan dan penyimpan energi, dan mempersiapkan rencana untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak," ujarnya melalui keterangan resmi, dikutip Sabtu (23/11).
Warga melintas menggunakan kendaraan roda dua di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Jeneponto di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (23/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Berdasarkan analisis IESR, untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, Indonesia perlu mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11 persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan menghentikan operasional PLTU seluruhnya di 2045.
ADVERTISEMENT
Fabby menilai langkah ini juga memungkinkan penetrasi energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi primer di sektor listrik pada 2030. Mengutip studi IESR, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk PHES.
"Dengan potensi ini, Indonesia dapat mengandalkan sumber daya energi terbarukan untuk bertransisi secara cepat dan berbiaya rendah," tutur Fabby.
Fabby juga mengingatkan bahwa pengakhiran PLTU batu bara juga memerlukan investasi besar-besaran untuk membangun pembangkit energi terbarukan dan penyimpan energi untuk menggantikan listrik yang dibangkitkan PLTU, memenuhi pertumbuhan permintaan listrik dan menjaga keandalan.
Menurutnya, dibutuhkan investasi sekitar USD 1,2 triliun hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi dengan sumber daya terbarukan, terutama energi surya, pembangunan penyimpan energi dan jaringan transmisi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, diperlukan biaya untuk mengakhiri operasi PLTU secara dini, khususnya pembangkit swasta (IPP) yang memiliki kontrak dengan PLN hingga 2056. Kata dia, pemerintah dapat mencoba skema pembiayaan campuran (blended finance) dan karbon kredit dari proyek yang mendukung transisi energi (transition carbon credit) untuk membiayai pengakhiran operasi dini PLTU.
"Kami menyarankan agar segera dibentuk gugus tugas dekarbonisasi kelistrikan yang berisi wakil lintas kementerian dan PLN, dipimpin oleh figur yang tegas dan memahami persoalan dan melapor langsung ke Presiden,” imbuh Fabby.
Foto udara pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di kawasan Suralaya, Cilegon, Banten, Rabu (31/7/2024). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Sementara itu, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan penghentian dini semua PLTU batu bara di jaringan PLN tahun 2040 dapat menghindarkan 182,000 kematian dini karena polusi udara, serta mengurangi beban biaya kesehatan hingga USD 130 miliar (sekitar Rp 1.900 triliun).
ADVERTISEMENT
Tercatat ada 4,5 GW PLTU yang sudah tua dan tidak efisien yang dapat dipensiunkan segera sehingga dapat mengurangi emisi hingga 28,8 juta ton CO2 per tahun, sekaligus meningkatkan kualitas udara, air dan kesehatan masyarakat.
Meskipun langkah penghentian PLTU ini memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan, Deon mengungkapkan beban biaya untuk pensiun dini PLTU, utamanya biaya pensiun aset, penurunan pendapatan pemerintah, serta biaya transisi pekerja diperkirakan mencapai USD 4,6 miliar hingga 2030.
"Biaya meningkat sesuai dengan akselerasi pengakhiran PLTU hingga mencapai USD 27,5 miliar pada rentang waktu 2040-2050. Oleh karena itu, dukungan pendanaan internasional menjadi sangat penting untuk memastikan transisi ini berjalan secara adil dan berkelanjutan,” papar Deon.
Di lain sisi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi mengungkapkan pernyataan presiden untuk mencapai NZE sebelum 2050 perlu dituangkan pada kebijakan iklim dan energi yang lebih ambisius.
ADVERTISEMENT
Arief menyebut aksi dan kebijakan iklim Indonesia saat ini dikategorikan sangat tidak mencukupi (critically insufficient) berdasarkan evaluasi Climate Action Tracker (CAT). Artinya, upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan pemerintah masih jauh dari cukup.
Pasalnya, kata dia, terdapat kesenjangan yang jauh antara kebijakan sekarang dan tingkat emisi yang ditaksir adil (fair) dan setara (equitable) untuk membatasi pemanasan 1,5 derajat Celcius. Untuk mencapai target iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia memerlukan integrasi prioritas pembangunan dengan pembagian emisi yang adil.
"Berdasarkan perhitungan CAT, untuk sejalan dengan pembatasan kenaikan 1.5 derajat celcius, NDC bersyarat harus ditetapkan pada 28 persen dan 51 persen di bawah level 2019, pada 2030 dan lebih ambisius lagi di tahun 2035. Kolaborasi dan bantuan internasional adalah aspek yang sangat penting untuk Indonesia,” kata Arief.
ADVERTISEMENT