Praktisi Perikanan: Ekspor Ikan Tuna Seret, Impor Naik Tembus 38.059 Ton

14 Juli 2021 15:29 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nelayan menimbang ikan tuna sirip kuning saat berlangsung proses lelang di terminal Pelabuhan Perikanan Samudera Kutaraja, Banda Aceh, Kamis (10/12/2020). Foto: Ampelsa/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Nelayan menimbang ikan tuna sirip kuning saat berlangsung proses lelang di terminal Pelabuhan Perikanan Samudera Kutaraja, Banda Aceh, Kamis (10/12/2020). Foto: Ampelsa/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Impor ikan tuna terus membanjiri pasar Indonesia. Praktisi perikanan Hendra Sugandhi mengatakan sepanjang 2020, impor ikan tuna tercatat tembus 38.059 ton. Angka ini meningkat dibandingkan impor tuna pada 2019 yang tercatat 28.554 ton dan pada 2018 yang tercatat 16.240 ton.
ADVERTISEMENT
“Trennya dari tahun ke tahun terus naik. Sementara tren ekspor justru stagnan,” ujar Hendra dalam Webinar Mongabay: Menuju Pengelolaan dan Keberlanjutan Produksi Ikan Tuna di Indonesia, Rabu (14/7).
Pada 2018, total ekspor tuna tercatat sekitar 168.434 ton. Kemudian di 2019 naik menjadi 184.130 ton. Sedangkan di 2020 naik tipis menjadi 196.759 ton. Menurut Hendra, tren ekspor tuna sejak 2014 hingga 2021 relatif stagnan. Saat ini Indonesia menempati urutan ke 6 dunia untuk ekspor tuna, padahal produksi ikan tuna di Indonesia pada 2019 tercatat mencapai 1,3 juta ton.
“Walaupun volume ekspor naik, namun ini akibat kenaikan impor tuna yang dipasok negara-negara produsen tuna lain misalnya Seychelles, China, Jepang, Marshall Island dan lainnya,” ujar Hendra.
ADVERTISEMENT
Proses produksi ikan tuna milik nelayan Aceh untuk di ekspor keluar negeri. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Mirisnya, tuna yang diimpor kebanyakan adalah jenis skipjack, yellowfin dan bigeye. Padahal menurut Hendra, Indonesia punya potensi besar untuk ketiga jenis tuna tersebut. Seharusnya, Hendra mengatakan, Indonesia dapat mengoptimalkan penangkapan ketiga jenis tuna ini di zona ZEE dan laut lepas. Sehingga angka impor bisa ditekan.
“Bahkan ironisnya kita memiliki kuota 5.889 ton tuna bigeye di WCPFC,” ujarnya.
Selain itu, Hendra juga membeberkan salah satu penyebab seretnya ekspor adalah karena adanya penolakan dari negara tujuan ekspor. Hendra menuturkan sebanyak 407 ton tuna telah ditolak oleh negara tujuan ekspor. Padahal nilainya mencapai USD 1,84 juta atau setara Rp 26,6 miliar. Penolakan ini mencerminkan bahwa pengelolaan mutu ikan di Indonesia masih rendah.
“Penolakan ini mengindikasikan ada permasalahan penanganan mutu ikan tuna dari hulu ke hilir yang harus diperbaiki. Strategi optimasi perikanan tuna harus terintegrasi dari hulu ke hilir. Namun yang lebih penting implementasinya harus optimal dan berkelanjutan,” tandasnya.
ADVERTISEMENT