Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Produsen Modul Surya Ngeluh Produk Kalah Saing dari Impor China, Ini Sebabnya
25 Maret 2025 16:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Direktur Utama PT Surya Utama Putra (SUP), Budiman Setiawan, mengatakan produk modul surya asli Indonesia sulit berkompetisi dengan impor China, sebab dari segi harga yang jauh lebih murah.
"Bahkan dari brand China yang ada di Indonesia, itu harganya tidak bisa bersaing dengan produk dari China yang diimpor. Dari segi sizing mereka sudah jauh lebih besar daripada kami, tapi tetap tidak bisa bersaing," jelasnya saat Diseminasi dan Peluncuran Kajian IESR, Selasa (25/3).
Budiman mencatat, perbedaan harga modul surya pabrikan dalam negeri dengan produk impor China bisa mencapai 40 persen. Hal ini, menurutnya, terutama disebabkan ketidakpastian pasar dan regulasi.
"Bila proyek-proyek yang besar diberikan semacam dispensasi, maka tentunya ini rencana pengembangan dari pabrikan-pabrikan ini menjadi sangat terganggu, karena sebenarnya seluruh solar panel ini, produk yang ada di luar negeri ini bisa diproduksi di Indonesia," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian faktor lainnya, kata Budiman, yaitu dari segi pendanaan atau pinjaman dari bank. Perusahaan modul surya di China bisa mendapatkan bunga lebih rendah hingga 3 persen per tahun.
"Kami melihat bunga bank ini masih sangat menantang. Di Indonesia rata-rata pinjaman itu antara 10 sampai 11 persen, kemudian saat ini kalau di China kurang lebih per tahun itu sekitar hanya 3 persen. Ini juga memberikan beban biaya untuk kami dalam melakukan produksi," jelas Budiman.
Tantangan lain yang mengadang produsen modul surya domestik adalah dari sisi volume produksi. Dia menyebutkan, pabrik modul surya di Indonesia rata-rata berkapasitas 30-100 megawatt (MW), sementara China sudah pada level satuan gigawatt (GW).
"Pabrikan-pabrikan besar di luar, baik itu yang ada di Indonesia maupun yang ada di China, itu rata-rata berbicaranya puluhan gigawatt. Sehingga dalam kondisi ini pabrikan industri solar panel menjadi sangat menantang," tuturnya.
Selain itu, Budiman menyebut produsen domestik mengalami ketertinggalan kemampuan teknologi. Menurutnya, jumlah fasilitas pengujian produk modul surya di Indonesia masih sangat kurang. Hal ini juga berdampak pada kualitas dan keandalan produk.
ADVERTISEMENT
Budiman menuturkan, produksi modul surya tier 1 di Indonesia bisa kompetitif dan efisien. Namun, karena masalah teknologi dan kewajiban produk memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), produsen menjadi tertinggal.
"Teknologi sel di Indonesia belum ada saat ini dan proses SNI maka rata-rata kami selalu tertinggal. Ada peraturan lagi bahwa setiap barang itu harus memiliki SNI masing-masing setiap seri, dengan adanya peraturan ini menambah panjang proses untuk launching suatu produk dan menambah biaya," ungkapnya.
Dengan demikian, Budiman berharap pemerintah memberikan sederet dukungan. Misalnya, dengan membuka kesempatan ekspor ke wilayah Afrika untuk meningkatkan kepastian pasar. Namun, para produsen juga masih terkendala kurangnya jaminan ekspor.
Dia mencontohkan produsen modul surya di China bisa mendapatkan jaminan dari bank khusus ekspor-impor, yang menjamin jika produsen tidak dibayar oleh pembeli atau user, bank akan menanggungnya setelah dievaluasi dan memenuhi persyaratan.
ADVERTISEMENT
"Kami berharap bisa mengekspor produk kami sebagai solusi produk ke negara-negara di benua Afrika. Tetapi kami juga menemui kendala bahwa tidak ada fasilitas penjaminan, pembayaran," ujarnya.
Adapun Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indonesia baru memiliki 33 pabrik modul surya dengan kapasitas tahunan sebesar 4,3 gigawatt (GW) dan kapasitas per modul surya sebesar 720 Watt Peak.