Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Project S TikTok Shop Berpotensi Ancam UMKM RI, Pemerintah Diminta Waspada
5 Juli 2023 11:32 WIB
·
waktu baca 7 menitFitri, penjual hijab di Pamulang, Tangerang Selatan, harus meluangkan waktu live atau siaran langsung di akun TikTok setiap malam demi mengejar konten viral alias masuk For Your Page (FYP). Dia juga wajib mengunggah minimal satu konten setiap hari di akun yang sama demi barang jualannya banyak dilihat.
Pekerjaan itu dia lakoni beberapa bulan terakhir sebagai cara memasarkan produk hijab buatan saudaranya. TikTok menjadi pilihan karena aplikasi itu sedang digandrungi, bukan hanya sebagai media sosial, tapi juga tempat berjualan melalui fitur TikTok Shop .
Ibu satu anak ini mengaku tak mudah berjualan seperti itu. Meski bisa menjangkau banyak penonton (views), tapi kontennya tidak selalu masuk FYP karena dia tidak mengerti algoritma yang dijalankan aplikasi asal China itu.
Susahnya memahami algoritma TikTok juga dirasakan Nurul. Sebagai penjual produk fashion muslim dari Jakarta, dia mengaku kesulitan menembus FYP. Hal ini terjadi karena banyak ketentuan soal konten jualan yang kurang bisa dipahami, terutama kebijakan live streaming.
Nurul mengaku jualannya saat live streaming tiba-tiba drop jadi di bawah 10 barang karena jumlah penontonnya turun ke 900-an views. Padahal sebelumnya 5.000 views. Dia mengaku bingung apa yang menjadi faktor kontennya FYP dan tidak FYP.
“Menurutku TikTok lebih sensitif. Kebijakan soal pelanggaran dan lainnya kurang jelas dan kurang bisa dipahami, terutama soal kebijakan live streaming. Kenapa views live tiba-tiba naik, tiba-tiba drop? Ini enggak jelas banget,” katanya kepada kumparan.
Kata dia, tidak ada kewajiban dari TikTok untuk live setiap hari. Tapi hanya disarankan untuk live streaming minimal 1 jam sehari supaya traffic tokonya naik.
Rini, pelaku UMKM pakaian muslim dari Cimahi, Bandung, juga mengaku heran dengan algoritma TikTok. Dia pernah mendapati kontennya FYP saat live streaming, padahal hanya kurang dari 10 orang yang menonton.
Meski begitu, Rini masih bertahan berjualan di TikTok karena platform ini dianggap sangat membantu. “TikTok Shop menolong banget untuk jualan,” katanya.
Pamor TikTok Shop semakin naik. Sejak diluncurkan April 2021, fitur ini banyak digemari pengguna media sosial, baik dari penjual yang bisa menjadi kreator untuk promosi barangnya, hingga pembeli. Daya tariknya ada di kemudahan berbelanja yang ada di aplikasi, tanpa harus pindah ke aplikasi lain untuk melakukan pembayaran. Mereka menyebut aktivitas ini sebagai social commerce yaitu menggabungkan media sosial dan e-commerce dalam satu aplikasi.
Berdasarkan data internal TikTok, nilai total barang yang terjual (Gross Merchandise Value/GMV) TikTok melonjak empat kali lipat menjadi USD 4,4 miliar di Asia Tenggara sepanjang tahun 2022. Sementara tahun ini, TikTok percaya diri penjualannya bisa mencapai USD 12 miliar dan lebih tinggi dari platform e-commerce lain seiring ekspansi yang dilakukan ke enam negara di Asia Tenggara yaitu Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand.
Bahaya Algoritma TikTok dan Project S
Algoritma TikTok menjadi ‘dewa’ karena sistem ini yang akan mengatur konten agar viral. Banyak faktor yang mempengaruhi konten tersebut banyak dilihat, mulai dari seringnya diunggah, banyak yang like, share, dan comment yang ujungnya mempengaruhi penonton untuk membeli produk tersebut.
Skema penjualan seperti ini mirip dengan Amazon yang mempromosikan produk sendiri berdasarkan yang terpopuler.
Tapi keberadaaan TikTok Shop dan algoritmanya dicurigai menjadi cara perusahaan mengoleksi data produk yang laris-manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China. Strategi menyusup ke dalam akun pelaku pasar seperti itu, dinamakan Project S . Kecurigaan soal Project S, pertama kali mencuat di Inggris.
Menurut laporan Financial Times, pengguna TikTok di Inggris mulai melihat fitur belanja bernama Trendy Beat di aplikasi tersebut. Dalam fitur itu, terlihat ada barang yang bisa dibeli dan populer, di antaranya penyikat bulu hewan peliharaan dan pembersih telinga.
“Produk-produk yang dipajang di fitur Trendy Beat TikTok dikirim langsung dari China. Sementara penjualnya terdaftar di Singapura, tetapi tercatat dimiliki oleh ByteDance,” kata sumber, dikutip Selasa (4/7).
Menariknya, nama penjual dua produk terpopuler di Trendy Beat TikTok Inggris itu adalah Seitu yang ternyata terhubung dengan If Youuu, yaitu bisnis ritel milik ByteDance yang juga induk TikTok. Kepala Kepala Anti-penipuan dan Keamanan E-commerce Global TikTok di Singapura Lim Wilfred Halim terdaftar sebagai direktur Seitu.
Lebih lanjut, dalam laporan Financial Times, ada empat sumber yang mengatakan penjual lain bisa menjual barang melalui TikTok Shop, tetapi mengambil sedikit komisi. Sementara ByteDance mengambil semua hasil dari penjualan di fitur Trendy Beat di TikTok.
“Upaya untuk mulai menjual produknya sendiri dikenal secara internal sebagai ‘Project S’,” kata enam orang yang mengetahui hal ini.
Selain meniru Amazon, strategi bisnis ByteDance saat ini sedang membangun unit ritel online untuk menantang grup seperti merek fast fashion Shein dan aplikasi milik Pinduoduo yakni Temu.
Project S yang dibangun TikTok ingin dipegang oleh Bob Kang, Kepala E-Commerce ByteDance. Berdasarkan laporan Financial Times, ada dua karyawan yang menyebut Kang baru-baru ini ke Inggris untuk membicarakan Project S. Tapi manajemen TikTok membantah hal itu. Menurut mereka, Kang berada di Inggris karena sejumlah alasan dan melapor kepada CEO TikTok, Shou Zi Chew .
“Bob Kang terobsesi dengan Temu dan meniru kesuksesannya. Menurutnya mereka dapat melakukan ini dengan memasukkan diri mereka ke dalam proses pasokan dan penjualan,” kata sumber lain yang mengetahui strategi tersebut di Inggris.
Indonesia Perlu Waspada, Pemerintah Harus Intervensi
Project S memanfaatkan pengetahuan TikTok tentang produk viral di aplikasi. Dengan hal ini, memungkinkan ByteDance memperoleh atau membuat barang-barang itu sendiri.
“Kemudian perusahaan akan gencar mempromosikan produk yang ada di ‘Trendy Beat’ ketimbang barang yang dijual oleh pesaing di aplikasi TikTok,” kata sejumlah sumber.
Pengembangan Project S ini di Inggris sudah dirilis dengan nama Trendy Beat yang sejatinya adalah TikTok Shop. Pengamat Teknologi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, mengatakan fenomena ini akan mengancam keberlangsungan UMKM di Indonesia.
Platform TikTok akan membaca algoritma produk apa yang paling digemari oleh market, untuk kemudian diproduksi langsung oleh TikTok dari China untuk dipasarkan secara global lewat TikTok Shop. Heru menilai, ini akan menjadi jalan masuk produk-produk asing ke Indonesia dan akan mematikan produk dalam negeri.
"Bagaimana pun, kita berharap yang diutamakan adalah produk-produk dalam negeri. Kenapa? Karena perkembangan ekonomi digital itu akan memberikan dampak yang sangat signifikan jika produk itu kandungan lokalnya sangat besar," kata dia kepada kumparan, Senin (3/7).
Bila pasar Indonesia diserbu barang impor, menurutnya justru yang maju adalah negara tempat barang tersebut diproduksi. Sementara Indonesia hanya menjadi pasar dari produk-produk asing tersebut.
"Kehadiran Projet S atau TikTok ini sebagai aplikasi yang berjualan atau socio-commerce ini jangan membuat kita euforia dan memberi karpet merah, atau cukup senang. Ini harus kita sikapi dengan hati-hati dan waspada," kata dia.
Dikonfirmasi soal Project S ini, TikTok Indonesia belum bisa memberikan tanggapan.
Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, menjelaskan perlunya ada intervensi dari pemerintah agar UMKM dapat berkompetisi dengan produk luar. Dalam hal ini, Kementerian Perdagangan dan Kemenkominfo memiliki wewenang untuk mengubah dinamika kompetisi UMKM dengan produk China.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan algoritma platform mengarahkan ke produk-produk luar negeri, terutama dari negara pengembang platform tersebut.
“Karena bentuknya adalah jual beli secara elektronik harusnya tunduk pada aturan menteri perdagangan, dan standar lainnya soal perlindungan merchant atau penjual,” kata Bhima.
Bhima menyarankan pemerintah turut andil dengan memasukkan aturan di Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) untuk melindungi penjual serta konsumen. Selain itu, pengenaan pajak pada e-commerce juga dapat meningkatkan pengawasan berlapis antara persaingan produk lokal dengan produk luar.