Proyek Reklamasi Singapura Butuh Pasir Laut Negara Tetangga, Nasib RI Bagaimana?

3 Juni 2023 13:22 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemandangan reklamasi di lepas pantai barat Singapura. Foto: AFP/Roslan Rahman
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan reklamasi di lepas pantai barat Singapura. Foto: AFP/Roslan Rahman
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi kembali membuka izin ekspor pasir laut setelah 20 tahun hal itu dilarang. Itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
ADVERTISEMENT
Sebelum dilarang di era Presiden Megawati tahun 2002 silam, Indonesia rutin mengekspor pasir laut ke Singapura. Di sana, pasir laut dari Indonesia digunakan untuk proyek reklamasi.
Lantas bagaimana proyek reklamasi di Singapura ini bisa membabat pasir-pasir laut dari negara tetangganya, dan seperti apa dampaknya ke Indonesia?
Dikutip dari artikel ilmiah berjudul Trading Sand, Undermining Lives: Omitted Livelihoods in the Global Trade in Sand (2018), luas daratan Singapura pada awal kemerdekaannya tahun 1965 hanya 581 km persegi, kemudian semakin luas menjadi 719 km persegi pada tahun 2015.
Luasan negara Singapura ditargetkan bisa meningkat 30 persen hingga tahun 2030. Reuters melaporkan, Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura saat ini sedang merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas, dengan pekerjaan reklamasi diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an.
ADVERTISEMENT
Mulanya, Singapura memborong pasir laut dari Indonesia dan Malaysia. Namun, ketika era Presiden Megawati pada 2002, Indonesia melarang ekspor. Kemudian Malaysia menyusul larangan di tahun 2019. Singapura kemudian beralih ke negara tetangga lainnya seperti Kamboja, Myanmar, Filipina, dan Vietnam.
Kebutuhan yang besar dari Negeri Singa itu membuat harga pasir laut melejit, dari hanya USD 3 per ton di periode 1995-2001, menjadi USD 190 per ton di periode 2003-2005.
Sebagai contoh besarnya impor pasir laut Singapura, pada 2007-2016, Statistik Perdagangan Singapura mencatat ada impor sebesar 242,7 juta ton pasir. Negara asal impor terbesar adalah Kamboja yang mencapai 80,22 juta metrik ton, dan 27,62 juta metrik ton dari Myanmar.
Sementara dari Indonesia, Reuters melaporkan dalam rentang waktu 1997-2002, Indonesia mengekspor pasir laut ke Singapura mencapai rata-rata 53 juta metrik ton per tahun.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pengembangan Nasional Singapura melaporkan, setidaknya Singapura harus mengeluarkan ongkos berkisar USD 270-850 per meter persegi untuk proyek tanah reklamasi mereka.
Biaya proyek reklamasi tanah itu bervariasi, tergantung pada sifat proyek, dan biaya material dan tenaga kerja yang berlaku.
Proyek reklamasi di Singapura menimbulkan multiplier efek berupa penyerapan tenaga kerja. Tercatat, pada 2016 sebanyak 327 ribu tenaga kerja diserap oleh sektor konstruksi reklamasi ini.
Sektor ini juga menyerap paling banyak tenaga asing yang bermigrasi ke Singapura. Dari total 1,4 juta tenaga kerja di sana, 40 persen adalah para pekerja asing.
Nasib Indonesia
Segudang manfaat diperoleh Singapura mulai dari pembangunan kawasan mereka hingga penyerapan tenaga kerja. Sementara bagi Indonesia penambangan pasir laut dikhawatirkan hanya akan menambah duka.
ADVERTISEMENT
Manager Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin, menilai kebijakan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut akan menyebabkan sejumlah pulau kecil di Tanah Air tenggelam.
Berdasarkan perhitungan Walhi, terdapat 6 pulau di Kepulauan Seribu yang tenggelam akibat penambangan pasir untuk memenuhi kebutuhan reklamasi Teluk Jakarta. Selain itu, tiga pulau di Papua juga tenggelam karena terus dieksploitasi untuk reklamasi.
"Itu kan pasir-pasirnya ngambil di Kepulauan Seribu di antaranya, itu tenggelam. Kita tidak mau belajar dari situ? Yang kedua, di daerah-daerah lain misalnya Sumatera selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, di Papua itu juga ada tiga pulau kecil yang tenggelam di sebelah utara," ungkap Parid saat dihubungi kumparan, Jumat (2/6).
Ilustrasi tambang pasir laut. Foto: Shutterstock
Parid mengatakan saat ini Indonesia tengah menghadapi percepatan kenaikan air laut sebesar 0,8 hingga 1 meter per tahun. Jika kondisi percepatan air laut terjadi diiringi dengan penambangan pasir laut, dia memprediksi akan semakin banyak daerah yang tenggelam.
ADVERTISEMENT
"Dan pada masa yang akan datang kita harus berhadapan dengan ledakan fungsi iklim. Jadi kehilangan fungsi iklim ini orang sudah kehilangan kampungnya, desanya, atau pulaunya. mereka mencari tempat karena tidak punya kampung, desanya sudah tenggelam," tutur Parid.
Menurut dia, garis pantai di Indonesia menyusut lebih dari 1 kilometer per 20 tahun. Salah satu wilayah yang mengalami penyusutan adalah Bengkulu, Pesisir Barat Sumatera, dan DKI Jakarta.
Bahkan jika ada manfaat yang didapat oleh negeri ini, Parid menilai keuntungan dari ekspor pasir laut ke kas negara kecil dan hanya jangka pendek. Menurutnya, penambangan pasir laut ini justru menyebabkan kerusakan lingkungan yang membahayakan untuk keberlangsungan ekosistem dan masyarakat di pesisir.
"Jadi, keuntungan ekonominya itu sangat jangka pendek, tapi kerusakannya panjang. bahkan lebih panjang dari yang dibayangkan pemerintah. Nah ini kan belum keluar hasil turunan dari PP ini, katanya akan menyusul hasil per kilogramnya," kata Parid.
ADVERTISEMENT