Punya Potensi Besar, Ekonomi Digital Butuh Aturan Perpajakan

25 Oktober 2018 11:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Di era saat ini, bisnis berbasis digital tumbuh dengan pesat. Beragam model dan karakteristik bisnis digital hadir. Konsep ini kemudian dijuluki sebagai ekonomi digital.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, konsep ini tak lagi mengenal batas yurisdiksi negara saat bertransaksi, tak lagi terbatas waktu, serta keberadaannya yang tak kasat mata alias virtual. Tak heran jika potensi sektor ekonomi digital sangat besar sehingga menarik minat para investor.
“Berdasarkan Kajian Google-A.T. Kearney 2017, senilai USD 3 miliar investasi asing untuk bisnis digital itu mengalir ke Indonesia. Potensi pasar digital itu diperkirakan mencapai USD 130 miliar di 2020,” ungkap Yustinus di Tjikini Lima Restaurant, Jakarta, Kamis (25/10).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan, pada 2015 sektor ini mampu berkontribusi sebesar 7,2 persen terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) atau senilai Rp 225 triliun.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut pun tercatat tumbuh 10 persen setiap tahunnya. Hal ini pun menurut Yustinus turut menciptakan kesempatan kerja yang makin luas. Meski sektor ekonomi digital terus tumbuh, namun sektor ini juga dibayangi ketidakpastian. Salah satunya adalah dari segi perpajakan.
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
Menurut Yustinus, data INSEAD Global Talent Competitiveness Index menyebutkan, daya saing Indonesia terbilang rendah, saat ini berada di urutan 90 dari 118 negara. Untuk meningkatkan daya saing tersebut, Yustinus mengklaim, seharusnya faktor investasi dan perpajakan harus diperhatikan.
“Kami mendukung prinsip keadilan, bahwa negara harus memperoleh haknya berupa penerimaan perpajakan dari aktivitas ekonomi digital. Namun hal tersebut tetap harus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan fairness, termasuk pertimbangan pentingnya komparasi kebijakan dengan negara lain dan memperhatikan tren perpajakan global,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, menurut Yustinus, pemerintah diharapkan dapat menerbitkan kebijakan dan aturan perpajakan demi menciptakan kepastian hukum bagi sektor ekonomi digital. Aturan yang ada saat ini dinilai belum cukup komprehensif dan kuat dalam mengatur pemajakan yang adil dan efektif bagi industri e-commerce.
“Poin-poin krusial kayak subjek pajak, objek PPN berupa BKP/JKP harus dibuat lebih jelas, DPP PPN atas transaksi pemberian cuma-cuma yang sering dilakukan sebagai bentuk promosi, mekanisme pemungutan, dan sebagainya,” ujarnya.
Selain itu, pengaturan dan pengawasan juga harus dilakukan terhadap pemungutan pajak. Menurut Yustinus, hal ini cukup menantang. Sebab konsep ekonomi digital sejatinya sangat luas.
“Ini bukan hanya soal e-commerce. Ekonomi digital itu banyak sekali. Bagaimana caranya agar pemungutan pajak itu bisa fair,” tandasnya.
ADVERTISEMENT