Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Putusan MK Terkait Penetapan UMP Dinilai Lebih Untungkan Buruh
7 November 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Formulasi untuk penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP ) 2025 bakal tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 mengenai Pengupahan. Sehingga, formulasi nantinya akan mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
MK mengubah 21 aturan dalam Undang Undang No.6/2023 tentang Cipta Kerja. Hal ini dimuat dalam Putusan No.168/PUU-XXI/2023. Salah satu aturan yang diubah dalam keputusan MK tersebut mengenai penentuan upah.
Putusan MK itu dinilai lebih menguntungkan pekerja dibanding Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023. Sebab, putusan MK memasukkan komponen kebutuhan hidup layak dalam standar upah.
“Jadi di dalam MK ditetapkan bahwa upah itu pekerja harus memenuhi komponen kebutuhan hidup layak. Komponen kebutuhan hidup layak itu bisa didapat dengan data BPS pengeluaran. Pengeluaran itu ada 52 komponen. Dari 52 komponen itu selain kebutuhan makan minum dimasukkan juga kebutuhan pendidikan dan rekreasi. Itulah yang digunakan kemudian jadi batas,” kata Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM),Tadjudin Effendi, kepada kumparan, Kamis (7/11).
ADVERTISEMENT
Tadjudin mengungkapkan kriteria kenaikan upah minimum yang masuk ke dalam PP hanya pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi, serta produktivitas tenaga kerja. Menurutnya, produktivitas tenaga kerja merupakan hal yang sulit dihitung.
Untuk itu, ia menilai komponen kebutuhan hidup layak lebih mudah dihitung karena dapat menggunakan data garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai dasar.
“Tapi kalau komponen hidup layak itu kan bisa digunakan garis kemiskinan. Jadi, dalam bahasa kasarnya, upah buruh atau pekerja itu harus berada di atas garis kemiskinan,” ujar Tadjudin.
Untuk penetapan UMP 2025 yang rencananya diumumkan pada bulan ini, Tadjudin mengatakan opsi paling realistis adalah menggunakan data pengeluaran dari BPS yang juga dapat menjadi salah satu instrumen perhitungan UMP.
ADVERTISEMENT
“Saya pikir yang paling realistis itu menggunakan data BPS. Data pengeluaran yang dikeluarkan oleh BPS. Itu bisa dihitung dari data Susenas, Survei Sosial Ekonomi Nasional,” jelasnya.
Pakar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Krisnadwipayana, Payaman Simanjuntak, menyebut putusan MK tersebut juga mengatur soal kemampuan perusahaan. Untuk kehidupan layak pekerja, Payaman menilai sebenarnya hal ini sebelumnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
“Putusan MK minta dipertimbangkan juga faktor lain seperti kebutuhan pekerja dan kemampuan perusahaan. Sebenarnya hal itu sudah terakomodasikan di PP Nomor 36 tahun 2021 mengenai batas upah minimum maksimum,” jelas Payaman.
Sementara itu, munculnya putusan MK tersebut juga dinilai dapat membuat pengusaha utamanya pengusaha sektor padat karya kebingungan untuk merumuskan formulasi upah. Hal ini karena biaya tenaga kerja sudah berkontribusi dalam 20 persen biaya produksi.
ADVERTISEMENT
“Di satu sisi adanya putusan MK ini membuat ketar ketir pengusaha dan ketidakpastian terutama yang padat karya seperti alas kaki dan tekstil, karena biaya tenaga kerja sudah berkontribusi hampir 20 persen dari biaya produksi mereka. Adanya putusan MK ini membuat mereka kebingungan untuk memformulasikan upah mengingat harus segera disusun per november ini,” ungkap Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian kepada kumparan.
Eliza menyebut pemerintah harus berusaha mencari kesimbangan antara kehidupan layak bagi pekerja dan keberlanjutan usaha. Upaya ini perlu dilakukan agar kedua hal tersebut berjalan dengan baik.
“Jadi memang ada tarik menarik antara hidup layak bagi pekerja dan keberlanjutan usaha. Karena pengusaha padat karya seperti tekstil ini kan lagi kondisinya tidak begitu baik, persaingannya sangat kompetitif dan pasar global. Pemerintah jadinya harus berusaha menengahi kedua kepentingan ini agar sama-sama bisa berjalan dengan baik, mencari win win solutionnya,” tutur Eliza.
ADVERTISEMENT