Ramai Rencana PPN Sembako, DJP Kirim ‘Surat Cinta’ ke Wajib Pajak

14 Juni 2021 9:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Sembako Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sembako Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
Rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kebutuhan pokok atau sembako hingga jasa pendidikan semakin ramai di masyarakat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun mengirim surat cinta alias email ke sejumlah wajib pajak dengan subjek ‘Informasi tentang PPN Sembako dan Jasa Pendidikan.’
ADVERTISEMENT
“Berkenaan dengan maraknya pemberitaan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako maupun jasa pendidikan di Indonesia, dengan ini disampaikan bahwa berita yang beredar merupakan informasi yang tidak berasal dari sumber resmi pemerintah,” tulis DJP dalam email tersebut, Senin (13/6).
Keterangan tersebut juga menyampaikan bahwa pemerintah saat ini sedang fokus terhadap upaya penanggulangan COVID-19, dengan melakukan berbagai upaya untuk melindungi masyarakat dan menolong dunia usaha agar dapat bangkit dan pulih akibat pandemi.
“Di tengah situasi pelemahan ekonomi akibat pandemi, pemerintah memandang perlu menyiapkan kerangka kebijakan perpajakan, di antaranya usulan perubahan pengaturan PPN,” tulisnya.
Adapun poin-poin penting usulan perubahan tersebut di antaranya, pengurangan berbagai fasilitas PPN, karena dinilai tidak tepat sasaran dan untuk mengurangi distorsi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, penerapan multitarif, dengan mengenakan tarif PPN yang lebih rendah daripada tarif umum misalnya atas barang-barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Serta tarif PPN yang lebih tinggi daripada tarif umum untuk barang-barang yang tergolong mewah yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi. Bahkan untuk jenis barang tertentu, disebut akan dikenai PPN Final untuk tujuan kesederhanaan dan kemudahan.
“Rencana ini akan dibahas lebih lanjut bersama DPR dan tentunya akan mendengarkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan agar lebih baik dan adil, dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan, gotong-royong, serta meningkatkan kontribusi kelompok yang mampu dengan kompensasi dan subsidi yang lebih tepat sasaran,” demikian bunyi keterangan tersebut.
Adapun rencana pengenaan PPN sembako hingga sekolah ini tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
ADVERTISEMENT
Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
kumparan mendapatkan draf RUU KUP tersebut. Pada Pasal 44E, pemerintah mengeluarkan dua kelompok barang dan sebelas kelompok jasa dari daftar bebas PPN. Sebelumnya, jenis barang dan jasa tersebut tidak dikenakan PPN sebagaimana yang diatur dalam UU PPN Pasal 4A ayat (2) huruf a dan b dan ayat (3) huruf a, b, c, d, e, g, i, j, k, o, dan p.
Dua jenis barang yang dihapus itu adalah (a) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, dan (b) barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Dalam draf RUU KUP tersebut, pemerintah juga memutuskan untuk menghapus 11 jenis jasa layanan yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN, salah satunya adalah jasa pendidikan atau sekolah.
ADVERTISEMENT
Dalam rencana beleid itu, pemerintah juga akan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, dari saat ini 10 persen. Namun di saat yang bersamaan, pemerintah juga akan mengenakan multitarif pada barang dan jasa tertentu, paling rendah 5 persen dan paling tinggi 25 persen untuk kategori barang mewah.
"Tarif PPN adalah 12 persen," tulis Pasal 7 ayat 1 draf RUU KUP.
Selain itu, pemerintah juga akan menetapkan tarif PPN 0 persen untuk ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.
"Sebagaimana yang disebutkan pada ayat 1 tersebut, dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen," tulis draf tersebut.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sangat menyayangkan dokumen yang belum di bahas di DPR ini bisa bocor di masyarakat. Namun pihaknya belum bisa menjelaskan, sehingga informasi yang muncul tidak komprehensif.
ADVERTISEMENT
"Itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui surat presiden, dan situasinya jadi agak kikuk, karena dokumennya keluar tapi belum dibacakan di Paripurna," ujarnya dalam ruang rapat komisi XI, Kamis (10/6).