Rapor Merah Jokowi di Neraca Perdagangan: Terburuk Sejak RI Merdeka

10 Januari 2019 16:23 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
161
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi di Pelepasan Ekspor Indonesia (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi di Pelepasan Ekspor Indonesia (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
Neraca Perdagangan Indonesia mengalami defisit tajam sepanjang 2018. Pada periode Januari-November 2018, defisit perdagangan tercatat sebesar USD 7,51 miliar. Ekonom Senior Faisal Basri menilai kinerja Neraca Perdagangan 2018 sebagai yang terburuk sejak Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
"Sejak merdeka, defisit perdagangan hanya 7 kali. Tahun 2018 defisit perdagangan terburuk sepanjang sejarah," tweet Faisal di akun Twitter-nya, seperti dikutip Kamis (10/1).
Penasaran dengan pernyataan Faisal, kumparan mencoba menggali data neraca perdagangan dari periode 1945-2018. Data dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
kumparan mencatat, terdapat 6 kali defisit selama 73 tahun. Defisit perdagangan terjadi pada tahun 1945, 1975, 2012, 2013, 2014, dan 2018. Bila dilihat, defisit perdagangan tahun 2018 yang paling parah.
Perbedaan hitungan soal berapa kali neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit, antara hitungan Faisal Basri dengan telaah kumparan, karena memang ada ketidaklengkapan data. Pada rentang 1945 hingga 1973, data neraca perdagangan tidak dipublikasikan setiap tahun.
ADVERTISEMENT
kumparan memperoleh data neraca perdagangan pada tahun 1945, 1955, 1965, 1968, 1973. Data normal yang dipublikasikan setiap tahun baru diperoleh mulai 1975.
Dari empat kali defisit neraca perdagangan dalam satu dekade terakhir, di pemerintahan Jokowi baru terjadi sekali ini, pada 2018 (Data Januari-November), dengan angka defisit terburuk.
Pemerintah tak menampik maupun membenarkan terkait defisit Neraca Perdagangan Indonesia selama tahun lalu merupakan yang terparah dibandingkan tahun-tahun yang lalu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, tak seharusnya hal tersebut dibesar-besarkan. Masyarakat juga perlu melihat dari sisi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) di tahun lalu yang diprediksi masih lebih baik dibandingkan 2014. Neraca perdagangan merupakan salah satu komponen perhitungan CAD.
ADVERTISEMENT
"Memang sudah keluar (datanya)? Coba lihat tahun 2015, 2014. (Tahun) 2014 kamu tahu berapa defisit transaksi berjalan? Jangan digede-gedein," ujar Darmin di kantornya, Jakarta, Rabu (8/1).
Sementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut defisit perdagangan di 2018 lebih banyak dipengaruhi oleh tingginya impor barang modal. Enggar menilai impor barang modal seperti mesin dan peralatan listrik tak perlu dikhawatirkan karena hal tersebut digunakan untuk hal produktif.
"Kita sebenarnya defisit atau meningkatnya impor akibat barang modal. Itu positif, harus disikapi positif jangan hanya melihat ekspor dikurangi impornya saja, tetapi juga dilihat investasi yang kemudian baru dinikmati nanti dalam beberapa tahun ke depan. Ini yang kita sikapi," ungkap Enggar.
Merujuk data BPS, impor barang modal seperti mesin dan peralatan listrik memang naik 22,02 persen yakni dari USD 7,139 miliar pada periode Januari-November 2017 menjadi USD 9,125 miliar pada periode sama di 2018.
Sri Mulyani di konpers barang ekspor dan impor (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sri Mulyani di konpers barang ekspor dan impor (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai naiknya defisit perdagangan pada periode Januari-November 2018 juga dipengaruhi oleh dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
ADVERTISEMENT
“Karena political judgment atau pun karena adanya trade war dengan AS kita juga harus melihat berbagai komoditas yang pasarnya sensitif terhadap isu-isu nonekonomi jadi penghambat dari ekspor kita,” kata Sri Mulyani di Gedung Dhanapala Kemenkeu, Jakarta, Senin (17/12).
Indef: Defisit 2018 Dipicu Naiknya Impor Migas dan Baja
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai buruknya kinerja Neraca Perdagangan Indonesia karena beberapa faktor.
Pertama, Bhima menyebut impor BBM naik signifikan karena harga minyak dunia sempat menyentuh level tertingginya di USD 70-80 per barel dari bulan April hingga pertengahan November 2018. Harga tersebut dinilai tertinggi sejak harga minyak dunia mulai terpukul pada tahun 2014. Harga minyak dunia seperti Brent di 2018 mulai turun hingga berada di kisaran USD 50-55 per barel. Impor migas tercatat naik 28,87 persen year-on-year (yoy).
ADVERTISEMENT
"Seiring harga minyak tahun 2018 sempat sentuh USD 75 per barel tertinggi sejak 2014. Defisit migas juga disebabkan produksi minyak dalam negeri selalu meleset dari target lifting," kata Bhima.
Pemerintah dan BUMN juga berkontribusi besar atas naiknya laju impor bahan baku dan barang modal pada proyek infrastruktur. Laju impor juga didorong oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja. Akibat Permendag 22, impor besi dan baja melonjak tajam sebesar 27,81 persen pada periode Januari-November 2018.
Bongkar muat baja (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Bongkar muat baja (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
"Pengawasan impor besi baja jadi post border relatif longgar. Impor besi baja di data BPS Januari-November naik 27,81 persen yoy. Nilainya tembus USD 9,125 miliar. Baja China juga gunakan permainan dumping sehingga harganya relatif murah di pasar Indonesia," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Lanjut Bhima, minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang merupakan ekspor unggulan Indonesia terpukul sepanjang 2018. Selain proteksi dari pasar AS, Eropa, dan India, produk CPO Indonesia mengalami dampak penurunan harga. Proteksi dan penurunan harga memicu nilai ekspor sawit (nonmigas) menurun sekitar 10,82 persen.
"Padahal CPO kontribusinya cukup besar terhadap total ekspor nonmigas. Harga CPO ambruk kinerja ekspor loyo. Di semester kedua efek perang dagang mulai berimbas ke ekspor komoditas lain karena China kurangi permintaan bahan baku," jelasnya.