Realisasi B40 di 2025 Butuh Dana hingga Rp 47 Triliun

8 November 2024 8:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman dalam IPOC 2024. Dok: GAPKI
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman dalam IPOC 2024. Dok: GAPKI
ADVERTISEMENT
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menilai pemerintah butuh menggelontorkan dana besar untuk menggenjot target bauran bahan bakar nabati (BBN) Solar dengan 40 persen minyak kelapa sawit atau biodiesel 40 (B40) pada awal 2025.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengungkapkan, implementasi B40 ini memerlukan setidaknya 16 juta kiloliter biodiesel. Ada penambahan sebesar 2,6 juta kiloliter bila dibandingkan dengan kebutuhan CPO untuk program B35.
"Jadi kira-kira butuh sekitar Rp 46 triliun sampai Rp 47 triliun untuk penerapan B40," ujar Eddy dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Bali pada Kamis (7/11).
Ia menjelaskan, kebutuhan dana ini berdasarkan asumsi harga FAME (Fatty Acid Methyl Ester) lebih tinggi ketimbang solar. FAME merupakan biodiesel yang diperoleh dari proses transesterifikasi minyak nabati atau hewani.
Dengan asumsi harga solar lebih tinggi, Eddy menyebut biaya yang dibutuhkan bisa lebih besar. Adapun posisi saldo BPDPKS pada 2024 mencapai Rp 32 triliun.
ADVERTISEMENT
Dengan proyeksi pendapatan ekspor CPO pada tahun 2024 sebesar Rp 21,5 triliun, total saldo mereka diperkirakan mencapai Rp 53,5 triliun.

Peningkatan Produktivitas CPO untuk B40

Industri kelapa sawit sepakat mendorong produktivitas kebun swasta dan rakyat untuk meningkatkan produksi crude palm oil (CPO).
Berdasarkan data Riset Perkebunan Nusantara (RPN), dari total 6,94 juta hektare milik petani, 1,36 juta hektare di antaranya ditanami oleh pohon-pohon yang berusia di atas 25 tahun. Adapun tanaman muda dengan usia di bawah 3 tahun mencapai 1,64 juta hektare dan tanaman dewasa antara 4-25 tahun seluas 3,94 juta hektare. Imbasnya, produksi CPO nasional ke depan berpotensi stagnan atau bahkan cenderung menurun.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengatakan salah satu langkah yang perlu segera direalisasikan, peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Dengan begitu, stagnansi produksi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir bisa diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit ini perlu untuk mendukung program biodiesel pemerintah yang ditargetkan menjadi B50 pada 2026, tanpa mengganggu ekspor CPO.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengungkapkan, untuk menggenjot produktivitas kelapa sawit, dana replanting ditingkatkan dua kali lipat dari yang semula Rp 30 juta per hektare menjadi Rp 60 juta per hektare.
“Bantuan itu kami tingkatkan dengan harapan bisa mendorong para petani ikut serta program replanting. Kalau dulu bantuan Rp 30 juta per hektare membuat mereka harus mencari pendanaan lain hingga tanaman menghasilkan, maka dengan Rp 60 juta per hektare ini bisa sampai tanaman menghasilkan,” ujarnya.
Bantuan replanting, lanjutnya, telah menjangkau 156.000 petani atau setara dengan 350.000 hektare lahan. Adapun lahan potensial yang bisa di-replanting mencapai 2 juta ha di Indonesia. BPDPKS menargetkan program replanting bisa meningkatkan produksi CPO petani mencapai 8 juta ton per tahun guna mendukung program strategis pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Pada 2045, dengan program replanting produksi CPO Indonesia berpotensi tembus 83,4 juta ton. Tapi bila program ini tidak berjalan produksi CPO nasional berisiko menurun dalam beberapa tahun ke depan,” jelasnya.