Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Realita Rumah Subsidi: Penuh Ilalang hingga Ditinggal Penghuni
22 September 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Ilalang tumbuh rimbun menutupi deretan rumah di Perumahan Citra Madani. Semak belukar bahkan menjalar ke pekarangan, pintu, hingga mencapai atap bangunan rumah subsidi ini.
ADVERTISEMENT
Kala kumparan menyambangi rumah murah yang berlokasi di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten ini pada Jumat (20/9), suasana sepi terasa sedari gerbang masuk perumahan.
Jalanannya masih tanah berbatu tak merata. Dinding-dinding rumah retak di sana-sini. Sebagian tampak sepi tak ada penghuni.
Rumah ini dikembangkang PT Mahameru Mega Kontruksi. Terdiri dari 33 unit rumah dengan dua tipe, tipe 36/100 dibanderol dengan harga Rp 166 juta per unit, dan tipe 38/100 dengan harga Rp 235 juta per unit.
Kantor marketing yang tak jauh dari lokasi perumahan pun sama sepinya. Bangunan bertingkat dengan dengan warna cat oranye dan putih itu terlihat sudah mengelupas.
Kendati kondisi perumahan seperti itu, masih ada pemilik yang memilih bertahan.
Sri Husniati jadi salah satu penghuni perumahan yang mengaku kerasan tinggal meski belum punya banyak tetangga. Sri merasa tempat tinggalnya ini masih relatif aman meski sepi penghuni.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ia mengaku fasilitas seperti listrik dan air sudah terpenuhi dengan baik. Untuk air, perumahan ini sudah menggunakan PDAM, sedangkan listrik sudah terhubung dengan PLN.
"Nyaman, aman sih tidak ada apa-apa. Ibu sempat lama berdua doang (di sini) tapi lama-lama alhamdulillah bisa bertahan sampai sekarang," ujarnya kepada kumparan, Jumat (20/9).
Meski nyaman, Sri berharap infrastruktur jalan dapat segera diperbaiki. Ia yakin langkah tersebut bakal jadi pendorong agar perumahan tak sepi penghuni lagi.
Penghuni lainnya bernama Ririn mengakui Perumahan Citra Madani masih memiliki banyak kekurangan. Salah satunya akses transportasi.
Ririn mesti merogoh kantong paling tidak sebesar Rp 25.000 sekali jalan bila ia ingin ke pasar.
"Transportasi terdekat dari sini itu kereta, dari sana ke sini pakai ojek online. Sebenarnya di sini itu transportasinya terlalu jauh, ke pasar aja jauh sekali. Untuk ongkos ke pasar aja Rp 25 ribu, transportasi jadi harus punya sendiri," keluh Ririn.
ADVERTISEMENT
Kurangnya fasilitas ini, termasuk jauhnya akses ke rumah sakit. Menurut Ririn, jarak ke rumah sakit terdekat bisa mencapai 20 kilometer.
Ia memilih bertahan di perumahan subsidi tersebut karena udaranya yang bebas dari polusi dan lingkungannya yang aman.
Berdasarkan pantauan kumparan, akses transportasi Perumahan Citra Madani ini memang cukup sulit. Moda transportasi terdekat yaitu stasiun KRL Commuterline Maja yang membutuhkan perjalanan 7 kilometer.
Transportasi umum seperti ojek online di daerah ini sangat sulit ditemui. Ojek pangkalan hingga angkutan kota juga tak menjangkau Perumahan Citra Madani ini.
Begitu juga dengan akses ke jalan tol cukup jauh sekitar 15-20 km. Jalan alternatif ke Perumahan Citra Madani pun tidak mulus, masih berlapiskan bebatuan hingga tanah yang menyulitkan kendaraan untuk melintasi jalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Potret tak jauh berbeda juga ditemukan dari program rumah subsidi di daerah lainnya. Rumah murah di Vila Kencana, Cikarang, bahkan kondisinya lebih buruk.
Perumahan yang ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) banyak yang kosong. Kala kumparan melihat lokasi pada 8 Mei 2024, sebagian besar rumah dalam kondisi kosong, hancur, bahkan dipenuhi tumbuhan rumput lebat.
Ketua RT 06 Vila Kencana Cikarang, Indah, mengungkapkan rumah kosong itu sebenarnya sudah laris terjual meski sudah ditumbuhi rumput.
"Kondisinya sih sebenarnya peminatnya banyak, sudah ada pemiliknya, sudah sold out semua di sini," ungkap Indah saat ditemui kumparan di rumahnya.
Banyaknya rumah kosong dan hancur membuat suasana malam hari sangat sepi, ditambah kurangnya lampu penerangan menjadi salah satu fokus warga.
ADVERTISEMENT
"Kekurangannya ya cuma penerangan doang, kalau kita si mintanya ya itu penerangan aja, jadi biar orang kadang pulang kerja malem bisa lebih ini (aman) lagi," jelasnya.
Ia dan warga lainnya juga mengkhawatirkan banyaknya binatang liar, karena rumput yang sudah tinggi dan kondisi rumah rusak menjadi lembab.
"Kalau binatang-binatang pasti ada, namanya kita ada rumput rumput pasti lah ada, ya (ular) kalau musim hujan biasanya keluar," ucapnya.
Tingkat Kekosongan Rumah Subsidi hingga 80 Persen
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat kuota bantuan program subsidi perumahan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang mencapai 166.000 unit tahun ini telah habis dialokasikan.
FLPP adalah salah satu program di sektor perumahan yang memungkinkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk dapat memiliki rumah dengan bunga yang lebih ringan, yaitu suku bunga 5 persen tetap selama tenor berjalan, dengan cicilan KPR maksimal 20 tahun.
ADVERTISEMENT
Syarat penerima KPR FLPP, antara lain belum pernah menerima subsidi atau bantuan pembiayaan perumahan dari pemerintah, tidak memiliki rumah, dan memiliki penghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan.
Berdasarkan data dari Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) mencatat penyaluran FLPP tahun 2024 telah tersebar di 33 provinsi di 387 kabupaten/kota.
Terdiri dari 9.830 perumahan yang dibangun oleh 6.635 pengembang yang telah bekerja sama dengan 37 bank penyalur. Meski demikian, banyak rumah bersubsidi di beberapa provinsi yang kosong tidak dihuni. Tingkat kekosongan itu mencapai 60-80 persen.
Rumah Subsidi Tak Tepat Sasaran
Pengamat properti Anton Sitorus menyampaikan ada beberapa penyebab rumah subsidi sepi penghuni hingga terbengkalai. Pertama, pembeli tidak memiliki kebutuhan yang mendesak untuk menempati rumah tersebut.
ADVERTISEMENT
"Nah kenapa bisa terjadi seperti itu ya kembali lagi ada beberapa faktor juga. Mungkin mereka itu bukan orang yang tepat sasaran bukan target market daripada rumah subsidi itu," kata Anton, Sabtu (21/9).
Faktor lainnya rumah subsidi ini sepi karena pembeli rumah tersebut kecewa dengan kondisi rumahnya yang tidak sesuai ekspektasi dan perjanjian awal dengan pihak pengembang.
"Seperti jalanannya mungkin kurang memadai gitu ya untuk mencapai ke perumahan itu. Atau mungkin juga fasilitas di dalam rumah itu juga mungkin kurang memadai," kata Anton
"Misalnya mungkin belum ada listrik atau belum ada air atau mungkin juga salurannya itu nggak bagus sehingga jadi masalah. Atau juga mungkin ternyata lokasinya itu sangat rawan banjir padahal awalnya dibilangnya mungkin nggak ada masalah gitu," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Bambang Eka Jaya, mengatakan banyaknya rumah subsidi yang sepi dan terbengkalai di beberapa wilayah karena ada yang membeli rumah tersebut sebagai bagian dari tabungan atau investasi jangka panjang.
"Rumah-rumah yang awal itu harganya cuma Rp1 juta, Rp 2 juta, dan sebagainya, setelah 20 tahun kemudian, yang nggak usah 20-30 tahun kemudian lah ya, sekarang ini kan rumah subsidi sudah mulai dari startingnya Rp 160 juta lebih, Rp 180 juta, Rp 200 juga gitu. Artinya Anda bisa bayangkan, orang beli itu tau-tau bisa nilainya sampai 20 kali lipat, 30 kali lipat kan pada saat itu ya," katanya.
Menurutnya, rumah subsidi saat ini banyak yang lokasinya berada di pinggiran kota. Sehingga akses transportasinya belum memadai. Dengan kondisi tersebut, banyak rumah subsidi yang sulit terjual.
ADVERTISEMENT
"Karena lokasinya di pinggir, orang tetap beli, tapi karena transportasinya belum memadai, mereka kadang-kadang anggap itu sebagai tabungan gitu lho. Makanya itu yang menjadi sebagian rumah itu sudah dibeli, laku, tapi tidak terjual," kata Bambang.
Bambang menilai, meski rumah subsidi dibanderol dengan harga yang murah, namun dalam perencanaan pembangunan harus diperhatikan juga kualitas, akses transportasi, hingga fasilitas pendukung masyarakat setempat.
"Sarana transportasinya, fasilitas-fasilitas yang ada di situ apa aja, gitu ya. Karena kan orang tinggal kan bukan hanya sekadar tinggal kan," ujar Bambang.
"Dia punya anak, dia ingin ada sarana pendidikan, dia tinggal di situ, transportasinya kan harus bisa mencapai ke tempat dia kerja atau usaha kan. Kalau misalnya sampai turun naik 3, 4, 5 kali kan biaya jadi mahal, gitu kan," tuturnya.
ADVERTISEMENT