Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dr. dr. Andani, Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan Staf Ahli Menteri Kesehatan, menyebut biaya investasi untuk membuka laboratorium tes PCR dan antigen sekitar Rp 1,5 miliar. Biaya itu sudah termasuk alat PCR, tata ruang, dan pernak-pernik alat kecil-kecil lain. Peralatan diimpor dari Eropa, Amerika, dan China.
“Itu alat yang bagus (bermutu),” kata Andani yang mendirikan lab PCR gratis di Padang untuk masyarakat. Lab ini telah melayani 1,3 juta tes secara cuma-cuma sepanjang pandemi COVID-19.
Andani memaparkan, harga alat reagen PCR berkisar Rp 70 ribu–Rp 150 ribu per unit, tergantung jenis dan kualitasnya. Sementara itu, harga tes PCR ditetapkan pemerintah sebesar Rp 275 ribu untuk Jawa dan Bali, serta Rp 300 ribu untuk luar Jawa dan Bali.
Artinya, ada keuntungan 50 persen—bahkan bisa lebih—yang dinikmati pengusaha dari bisnis ini terlepas dari biaya jasa dan sebagainya.
“Tidak semua (kebutuhan tes) bisa dikover pemerintah, itu masalahnya,” ujar Andani.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, impor alat PCR pada 2020 sebesar USD 548 juta atau Rp 7,78 triliun. Angka itu naik pada 2021 menjadi USD 692 juta atau Rp 9,82 triliun. Namun, akhir 2021, tren impor bulanan alat-alat PCR mengalami penurunan, yakni USD 29 juta, dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar USD 106,54 juta.
Catatan terbaru pada awal 2022 ini, impor alat PCR hanya USD 47 juta dalam dua bulan, Januari–Februari. Artinya, dalam sebulan impor alat tersebut hanya USD 23,5 juta.
Data tersebut berkorelasi dengan turunnya tes PCR secara nasional menjadi 30 ribu tes per hari imbas melandainya kasus harian COVID-19. Padahal, saat kasus sedang tinggi-tingginya, tes PCR dalam sehari mencapai hampir 200 ribu tes.
Bisnis PCR kian redup saat Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan bahwa tes PCR tak lagi dibutuhkan untuk kepentingan perjalanan dalam negeri, asal sudah vaksinasi COVID-19 dua kali.
“Pelaku perjalanan domestik dengan transportasi darat, laut, maupun udara yang sudah melakukan vaksinasi dosis dua, sudah tidak perlu menunjukkan bukti antigen maupun PCR negatif,” kata Luhut, 7 Maret 2022.
Dua hari setelah pengumuman Luhut, seluruh bandara di Indonesia serentak menghapus syarat untuk tes PCR dan antigen. Hal serupa menyusul dilakukan oleh moda transportasi lain seperti kereta api, bus, dan kapal laut.
Penumpang pun banyak yang senang. Mereka tak perlu repot-repot mengeluarkan uang lebih dan menunggu hasil PCR keluar sebelum bepergian ke luar kota.
“Sejujurnya, syarat perjalanan harus tes antigen apalagi PCR itu sangat merepotkan, apalagi kalau perjalanannya dadakan,” kata Yayu, pegawai swasta di Jakarta yang sudah 20 kali tes PCR dan antigen selama pandemi.
Andani melihat bahwa masyarakat memang semakin terganggu dengan kewajiban tes PCR atau antigen di tengah pelonggaran dan pemulihan ekonomi. Selain itu, banyak yang menyadari adanya potensinya kuat pandemi COVID-19 akan berubah menjadi endemi.
Bumame Farmasi, lab layanan tes COVID-19, turut mencatat penurunan layanan tes PCR dan antigen usai kelonggaran yang diterapkan pemerintah.
“Yang sangat terasa adalah (jumlah) masyarakat yang mengambil layanan antigen. Turun di hampir seluruh cabang kami, terutama di Jabodetabek,” kata Public Relations Bumame Farmasi, Afifah Nurdin, tanpa merinci angka persisnya.
Bumame adalah salah satu contoh dari booming-nya bisnis tes COVID. Berdiri dengan satu lab di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, pada Agustus 2020—lima bulan setelah kasus pertama COVID-19 muncul di Indonesia, Bumame terus berkembang hingga kini memiliki 56 cabang di seluruh Indonesia.
“Kami punya banyak lokasi karena sesuai dengan visi dan misi kami di Bumame Farmasi, kami ingin menjadi rekanan bagi masyarakat dan pemerintah dalam penanganan dan pencegahan COVID-19,” kata Afifah kepada kumparan, Senin (14/3).
Hasil perhitungan peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, bersama timnya menunjukkan bahwa setidaknya keuntungan penyedia jasa PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun.
Nilai yang fantastis itu membuat banyak platform digital bermitra dengan lab-lab lokal, lab besar, sampai rumah sakit, untuk menyediakan jasa tes PCR dan antigen.
“Rumusnya sederhana: total pemeriksaan spesimen per hari dikali biaya tes PCR sesuai regulasi,” kata Wana kepada kumparan, Selasa (15/3).
Menurut ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, lab-lab yang sudah beroperasi sejak awal pandemi tentu telah meraup untung sangat besar, sebab mereka telah memiliki pengalaman dalam pelayanan kesehatan.
Selain itu, maskapai yang menyediakan jasa tes COVID-19 pun ikut diuntungkan. Menurut Bhima, “Keuntungannya cukup besar karena disubsidi silang dengan tiket penerbangan.”
Pun begitu, Andani menyatakan booming bisnis PCR selama dua tahun terakhir juga perlu dilihat dari sudut pandang lain. Pertama, fakta bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada peralatan impor untuk memenuhi kebutuhan tes PCR maupun antigen.
Kedua, bahwa menjamurnya lab dan klinik swasta yang menyediakan layanan tes PCR dan antigen adalah murni karena kebutuhan masyarakat.
Oleh sebab itu Andani menyarankan agar lab dari pemerintah bisa diperkuat ke depan, sebab hal itu akan menekan lab swasta dalam mengerek harga layanan PCR. Selain itu, penting untuk memperkuat produksi alat kesehatan dalam negeri supaya harga tak diatur oleh produsen luar negeri.
“Jadi banyak pelajaran dan PR yang kita petik dari kondisi pandemi ini,” kata Andani.
Teknologi polymerase chain reaction (PCR) ditemukan pertama kali oleh Kary Mullis, seorang kimiawan Amerika Serikat, sekitar tahun 1980-an. PCR digunakan untuk menguji DNA penyakit. Tak ada yang mengira bahwa hampir 40 tahun setelah ditemukan, teknologi PCR berperan vital dalam penanggulangan pandemi COVID-19 sehingga membuatnya menjadi bisnis cerah di masa muram.
Saat pandemi baru merebak di Indonesia, biaya tes PCR luar biasa mahal. Juni 2020, harganya mencapai Rp 2,5 juta. Ini bahkan lebih mahal ketimbang tiket pesawat dari Jakarta ke Australia. Masyarakat pun memprotes keras harga selangit ini. Apalagi kondisi ekonomi jadi tak menentu sejak pandemi melanda.
Berbulan-bulan pemerintah tak mengatur harga tes PCR. Ketika itu harganya berada di kisaran Rp 1,5 juta sampai Rp 2,5 juta. Baru pada Oktober 2020, pemerintah menetapkan harga batas atas tes PCR: Rp 900 ribu.
Kemenkes saat itu menjelaskan, harga tes PCR sangat mahal di awal pandemi lantaran biaya komponen-komponen untuk melakukan tes itu pun naik. Akibatnya, biaya operasional meningkat karena mayoritas alat kesehatan diimpor dari luar negeri.
Namun, Rp 900 ribu pun masih terhitung mahal. Masyarakat terus resah dan protes terus dilontarkan. Apalagi, di India harga sekali tes PCR hanya Rp 96 ribu.
Setahun kemudian, Agustus 2021, pemerintah menurunkan harga tes PCR. Untuk Jawa-Bali, biaya tertinggi ditetapkan Rp 525 ribu. Setelahnya, rumah sakit, klinik, dan lab ramai-ramai menurunkan biaya tes PCR menjadi Rp 495 ribu. Beberapa RS memasang harga lebih rendah di kisaran Rp 450 ribu sampai Rp 475 ribu.
Dua bulan kemudian, Oktober 2021, pemerintah kembali menurunkan biaya tes PCR. Tarif tertinggi untuk Jawa-Bali adalah Rp 275 ribu, dan untuk luar Jawa-Bali sebesar Rp 300 ribu.
Alasan lain dari penurunan tarif PCR tersebut adalah karena masa berlakunya yang singkat, 2 x 24 jam. Masa berlaku itu kemudian dilonggarkan menjadi 3 x 24 jam.
Meski terjadi penurunan tes COVID-19, Bumame Farmasi menyebut perubahan itu belum signifikan. Cabang-cabang Bumame di luar Jabodetabek masih terus didatangi masyarakat yang hendak tes PCR maupun antigen.
“Demand-nya masih terus ada karena masyarakat sebenarnya sudah mulai sadar bahwa kesehatan adalah hal yang penting. Mereka skrining mandiri walau tidak lagi diwajibkan pemerintah,” kata PR Bumame, Afifah Nurdin.
Ia menambahkan, kesadaran tersebut amat bagus agar Indonesia bisa segera keluar dari pandemi menuju endemi.
Secara terpisah, Ketua Subbidang Dukungan Kesehatan Satgas COVID-19 Brigjen (Purn) dr. Alexander Ginting menyatakan bahwa tes PCR dan antigen tetap dibutuhkan sebagai instrumen skrining, diagnostik, dan pelacakan kontak.