Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0

ADVERTISEMENT
Kicau burung yang saling bersahutan terdengar tanpa henti saat cahaya matahari mulai muncul di Pasar Burung Pramuka, Kecamatan Matraman, Jakarta Pusat pada Rabu (16/4).
ADVERTISEMENT
Berdiri pada 1975, pasar ini menjual berbagai kebutuhan para pecinta burung. Mulai burung lokal, impor, sangkar hingga pakan. Sekitar pukul 10.00 WIB para pedagang mulai membuka kios mereka.
Meski begitu, aktivitas perdagangan tampak lumayan lengang. Mamik (50) salah satu pedagang burung ocehan bercerita kondisi pasar belakangan memang cukup sepi dari pembeli langsung.
“Kalau saat ini memang banyak yang sepi. Banyak yang tutup karena, ya, gulung tikar. Apalagi ini, ini kan termasuk dibilang resesi ke resesi kan. Ini kita sudah bisa makan aja, belanja, kirim [uang] [ke] rumah, udah syukur,” kata Mamik kepada kumparan saat ditemui di tokonya.
Dengan kondisi ini, Mamik menyampaikan penjualan para pedagang burung kebanyakan bergantung pada saat akhir pekan yang cenderung lebih ramai.
ADVERTISEMENT
Untuk menyiasati penjualan yang sepi, Mamik juga memanfaatkan toko online untuk memasarkan dagangannya.
“Cuma sekarang banyak online, lah ini barusan Tokopedia sama Shopee. Ya diposting di video-video di situ ada juga kan, paling foto kita manfaatin itu, manfaatin YouTube,” ujarnya.
Pria yang sudah berjualan sejak tahun 1998 itu mengenang kondisi pasar yang sangat ramai di awal ia berjualan. Saat itu, Mamik mengaku mengikuti jejak saudaranya yang juga memiliki bisnis burung.
“Waktu itu enak, beda sama sekarang, dulu lewat sini (lorong pasar) enggak kaya ini, ini kan bisa buat main bola, ya tahun 2000-an, awal 2000-an,” kenang Mamik.
Saat ini Mamik menjual berbagai jenis burung seperti Perkutut, Parkit, Nuri dan Beo sampai burung yang ditangkap langsung dari alam seperti Kenari dan Pipit yang Ia jual mulai Rp 10.000 hingga ratusan ribu.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Mamik juga menjelaskan omzet penjualannya tidak menentu. Hal ini karena Ia bergantung pada penangkap burung sebagai supplier.
Terkait bisnis burungnya, Mamik bilang kios yang ditempatinya saat ini merupakan kios sewa dengan biaya Rp 350.000 per bulan dan listrik Rp 250.000 per bulan.
Hasil dagangannya diakui cukup untuk membayar berbagai kebutuhan keluarga, membiayai anak sekolah termasuk untuk menggaji pegawai. Mamik mengaku saat ini pembeli burungnya lebih banyak dari kalangan pemilik Aviari atau kandang besar.
“Ditolong pembeli burung Aviari, jenderal-jenderal banyak, Jusuf Hamka sering ke sini, beli yang kaya-kaya gitu,” katanya.
Kini pasar yang sudah berusia setengah abad itu tetap bertahan di tengah kondisi pengunjung yang kian sepi.
Burung Impor Rp 250 Juta
Selain Mamik yang kini bermain dua kaki dengan dagangan langsung dan online melalui loka pasar, kumparan juga menghampiri Guna (34) yang dikenal sebagai pedagang burung impor di Pasar Burung Pramuka.
ADVERTISEMENT
Pemilik toko Guna Ceper tersebut memilih berjualan burung impor yang harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah seperti burung Macaw.
“Itu Rp 250 juta sepasang. Kalau murah, ya kita punya Gantangan kayak gini, Rp 750 ribu,” kata Guna.
Guna menunjukkan sejumlah jenis burung impor dagangannya, seperti burung Merak dari India yang dijual seharga Rp 15 juta sepasang dan burung Biru Peri Filipina seharga Rp 7 juta seekor.
Guna juga menjual berbagai burung yang sudah memiliki sertifikat seperti burung Kakatua bersertifikat.
Untuk burung-burung mahal, Guna bilang Ia sudah memiliki kerja sama dengan perusahaan supplier yang Ia tak disebutkan namanya.
“Kalau saya sama PT kan udah join. Jadi mereka pasang harga, yaudah ini harga untuk keluar,” ujar Guna.
Selain itu, terkadang Guna mendapatkan burung mahal dari para pemelihara burung menjual burungnya dengan berbagai alasan.
ADVERTISEMENT
Untuk penjualan, Guna juga menjual burung-burung mahal ke berbagai kebun binatang kecil. Meski begitu saat ini Ia mengakui penjualan memang turun.
“Sepinya kalau kebun binatang di gantungin, ya, maksudnya tergantung pendatangnya, gitu kan. Kalau lagi banyak penjualan ramai, ya mereka cari ikon apa yang bisa menarik, kalau lagi sepi ya sepi,” lanjutnya.
Sepi Sejak 5 Tahun Belakangan
Soal sepinya pasar, pada pasar yang terdiri dari 3 lantai ini, kumparan memang mendapati adanya beberapa kios yang sudah kosong di lantai 3 pasar tersebut. Beberapa toko tampak tutup dengan label dari Pasar Jaya bertuliskan ‘Tutup Sementara’ dari Pasar Jaya.
Pada kesempatan ini kumparan juga menemui Heru Sukamto yang merupakan Sekjen Paguyuban Pedagang Pasar Burung Pramuka (P3BP).
ADVERTISEMENT
Heru mencatat dari tahun 2000-2020 terdapat 280 pedagang di pasar ini. Namun jumlahnya menyusut dalam 5 tahun belakangan utamanya pasca pandemi.
“Di terakhir kalau kita data verifikasi sekarang mungkin pengurangannya ada 20 persen lah ya,” kata Heru.
Dari jumlah tersebut Heru menjelaskan jumlah pedagang yang mulai turun merupakan pedagang burung dibanding penjual pakan burung.
“Iya. Kalau untuk makanan ya survive lah masih survive. Rata-ratanya penurunan keuntungan saya yakin kalau burung saya yakin di atas 40 persen, ujarnya.
Heru melihat faktor yang menyebabkan penurunan jumlah pedagang juga beragam. Mulai dari menurunnya daya beli, tren hobi sampai semakin banyaknya burung mahal yang over produksi.
“Mungkin 5 tahun ke depan masih stagnan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT