Refly Harun Minta Pemerintah Tak Anti Kritik: BUMN Bukan Usaha Milik Nenek Lu

13 Mei 2020 2:56 WIB
comment
45
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Refly Harun pada acara Focus Group Discussion (FGD) Konstitusi di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Refly Harun pada acara Focus Group Discussion (FGD) Konstitusi di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Pakar hukum tata negara, Refly Harun berpendapat, pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya boleh mengkritik pemerintah jika terdapat kebijakan yang melenceng.
ADVERTISEMENT
Sebab menurut dia, seluruh pegawai BUMN bekerja untuk negara, bukan pemerintah. Sehingga apabila terdapat kebijakan yang melenceng, pegawai BUMN berhak untuk menyampaikan kritik
“Makanya saya punya konsep, mengkritik pemerintah itu enggak ada masalah sebagai orang BUMN. BUMN itu badan usaha milik negara, bukan badan usaha milik nenek lu atau pemerintah,” tegasnya dalam konten youtube yang dibuatnya bersama Sandiaga Uno, Selasa (12/5) sore.
Refly menjelaskan, negara bukan hanya pemerintah saja, melainkan juga rakyat di dalamnya. Sehingga pegawai BUMN semestinya turut mengawasi jalannya good and clean governance. Karena prinsip tersebut, saat Refly menjabat Komisaris Jasa Marga yang kemudian digeser ke Pelindo I, dia tak segan untuk mengkritik pemerintah untuk kebaikan. 
ADVERTISEMENT
“Negara itu enggak hanya pemerintah, negara itu rakyat juga. Jadi kita sama-sama membangun good and clean governance, supaya lebih baik lagi,” kata Refly. 
Ilustrasi penyaluran bansos. Foto: Dok. Kemensos
Dia pun mencontohkan kebijakan pemerintah yang melenceng, yakni relawan Presiden atau menteri yang turut membagikan bantuan pemerintah. Semestinya, bantuan pemerintah disalurkan melalui kementerian teknis terkait.
“Ini konsep hukum tata negara, mestinya simbol-simbol resmi pemerintahan itu tidak boleh dipakai. Jadi ketika orang menjabat sebagai menteri, menjabat sebagai Presiden, enggak boleh orang itu pakai nama relawan Jokowi, relawan Erick Thohir, dan sebagainya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Refly menjelaskan saat menjadi pejabat negara, seseorang tak boleh memakai struktur informal di dalam kegiatan kenegaraan. Sebab hal tersebut bisa menyebabkan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. 
ADVERTISEMENT
“Karena dia sudah merupakan part of state, bagian dari negara, jadi tidak boleh organisasi-organisasi non-state menggunakan simbol itu, karena bisa abuse of power. Sekarang ini kan Pak Jokowi masih banyak relawan. Jadi enggak boleh pakai Projo, relawan Jokowi dalam menyalurkan bantuan, tapi menggunakan struktur formal dan resmi. Karena akuntabilitasnya jelas,” pungkas Refly