Relaksasi Impor Dinilai Jadi Biang Kerok PMI Manufaktur RI Anjlok

2 Agustus 2024 8:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja melakukan perakitan di Pabrik United Bike, Bogor, Kamis (21/9/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melakukan perakitan di Pabrik United Bike, Bogor, Kamis (21/9/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
S&P Global merilis data Purchasing Manager Index (PMI) Indonesia di Juli 2024, yang masuk ke zona kontraksi setelah sebelumnya selama 33 bulan mampu ada di zona ekspansi. Data PMI manufaktur Indonesia pada Mei 2024 ada di zona ekspansi di 52,1 lalu turun 50,7 di Juni 2024 dan akhirnya turun ke zona kontraksi di angka 49,3.
ADVERTISEMENT
Merespons hal tersebut, ekonom Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Fahmi Wibawa mengingatkan, agar pemerintah kompak dalam melindungi industri dalam negeri dari serangan impor.
“Penurunan PMI pada bulan Juni dan Juli ini tidak lepas dari relaksasi impor yang dibunyikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Pak Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat melepaskan puluhan ribu kontainer barang impor yang bermasalah perizinannya pada 17 Mei 2024,” ujar Fahmi dalam keterangan tertulis, Jumat (2/8).
Menurutnya, relaksasi impor secara khusus terhadap tujuh kelompok barang yang sebelumnya dilakukan pengetatan impor seperti elektronik, alas kaki, pakaian jadi, aksesoris, kosmetik, dan perbekalan rumah tangga lainnya berimbas besar dan menjadikan PMI Indonesia sebagai salah satu yang terdampak.
Pekerja merakit kerangka mobil BMW di Pabrik Perakitan BMW di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Fahmi menambahkan, perlindungan terhadap industri dalam negeri adalah kunci keberhasilan industri manufaktur di masa depan. Kebijakan relaksasi harus mempertimbangkan pandangan dan aspirasi para pemangku yang terdampak.
ADVERTISEMENT
“Sehingga diharapkan industri manufaktur Indonesia dapat mencapai di titik posisi dapat bersaing dengan industri manufaktur global baik dari sisi harga maupun kualitas,” jelas Fahmi.
Menurutnya, kondisi relaksasi impor yang tidak menguntungkan tersebut berimbas pada persepsi para pelaku industri dalam negeri. Persepsi kekhawatiran inilah yang ditangkap dalam rilis S&P Global mengenai PMI ini.
“Apabila relaksasi impor berlanjut, dampak gempuran barang impor akan semakin parah karena produk industri lokal akan semakin jauh dalam berkompetisi dengan produk impor,” tambah Fahmi.
Ia menekankan kebijakan yang melindungi perkembangan industri dalam negeri adalah salah satu bentuk keyakinan pemerintah terhadap industri dalam negeri.
Menurutnya, tugas melindungi industri dalam negeri bukan hanya kewajiban Menteri Perindustrian, juga tugas kementerian/lembaga terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan kementerian/lembaga terkait lainnya.
ADVERTISEMENT

Respons Pengusaha

Selain itu Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), Fajar Budiono menyatakan, impor barang yang membanjiri Indonesia memberikan dampak negatif terhadap industri dalam negeri yang akan mempengaruhi angka PMI.
“Mau tidak mau industri harus menurunkan produksi, bahkan di sektor tekstil malah sudah PHK. Kalau ini dibiarkan terus menerus dan pemerintah tidak ada action, maka saya melihat tahun 2024 ini PMI manufaktur akan tambah jelek,” terang Fajar.
Menurut Fajar, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto harus segera ambil tindakan, jangan hanya memprioritaskan kelompok tertentu, tapi nasionalnya terganggu. Jadi harus segera ambil tindakan yang cepat dan tepat.
“Saat ini juga ada beberapa parameter yang banyak anomalinya. Sudah saatnya negara harus turun cepat. Namun, kadang-kadang, pemerintah kurang tanggap dan respons cepat. Safeguard harus segera dijalankan, anti-dumping dijalankan, Permendag yang mengatur hajat hidup orang banyak harus segera diimplementasikan dengan benar, bahan baku dipermudah, namun kenyataannya ini justru terbalik,” tutup Fajar.
ADVERTISEMENT