Rencana Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Disebut Makin Bebani Kelas Menengah

15 Oktober 2024 12:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana pekerja yang berkantor di kawasan Sudirman saat jam pulang kerja melintas di kawasan JPO Phinisi, Jakarta, Selasa (29/11/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pekerja yang berkantor di kawasan Sudirman saat jam pulang kerja melintas di kawasan JPO Phinisi, Jakarta, Selasa (29/11/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
ADVERTISEMENT
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen makin membebani kelas menengah. Padahal, kelas menengah menjadi salah satu pendorong ekonomi Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang tergolong dalam kelas menengah mengalami penurunan signifikan dari 57,33 juta pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta pada tahun 2024. Di sisi lain, kelompok 'calon kelas menengah' yang rentan terhadap kemiskinan terus bertambah mencapai 137,5 juta jiwa. Untuk mengatasi fenomena ini, literasi keuangan dan investasi menjadi strategi krusial dalam memperkuat daya tahan ekonomi masyarakat.
"Kelas menengah saat ini terhimpit akibat kenaikan tarif PPN, harga BBM, dan inflasi, sehingga daya beli mereka melemah," ujar Nailul dalam keterangannya, Senin (14/10).
ADVERTISEMENT
Menurut dia, kelas menengah rentan bergeser ke kelompok rentan miskin dan sulit untuk naik kelas. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan ruang ekonomi lebih besar dengan mempertahankan subsidi dan menunda kenaikan pajak.
“Saya menilai kelas menengah ini dia tidak naik ke atas, tapi tidak terlalu jeblok ke bawah, yakni ke golongan miskin. Kelas menengah itu ternyata dapat dikatakan pindah dari kelas menengah ke rentan miskin," jelasnya.
Selain itu, kelas menengah juga dinilai tak mendapat perhatian pemerintah. Bantuan sosial (bansos) yang selama ini digelontorkan pemerintah juga lebih banyak menyasar kelas miskin. Sehingga menurut Nailul, PPN 12 persen akan mempersulit keadaan.
"Selama pandemi COVID-19, bantuan sosial lebih banyak diterima oleh kelas miskin, sementara kelas menengah justru berjuang untuk bertahan di tengah penurunan pendapatan. Selain itu, kenaikan PPN di tahun 2025 juga bisa semakin mempersulit keadaan,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Nailul menilai, pertumbuhan pendapatan masyarakat kelas menengah hanya sekitar 1,5 persen, jauh di bawah laju kenaikan harga barang. Akibatnya, banyak dari mereka yang mulai terpaksa menggunakan tabungan untuk menjaga pola konsumsi tetap berjalan. Ia pun menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN dan mempertahankan subsidi yang ada.
"Langkah ini, menurutnya, bisa memberikan ruang bagi kelas menengah untuk bernapas dan memulihkan kondisi keuangan mereka di tengah tantangan yang ada," tuturnya.
Di sisi lain, Nailul juga menekankan pentingnya literasi keuangan dan investasi bagi masyarakat. Meskipun minat investasi meningkat, banyak orang masih terjebak dalam keputusan yang kurang tepat karena tergoda iming-iming keuntungan besar tanpa memahami risiko yang ada.
Oleh karena itu, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai investasi, agar mereka bisa membuat keputusan yang bijak di tengah situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian ini.
ADVERTISEMENT
“Meski minat investasi meningkat, banyak masyarakat yang masih terjebak pada iming-iming keuntungan besar tanpa memahami risiko yang ada. Untuk itu, masyarakat juga harus memahami dasar-dasar investasi sebelum terjun ke dalam ekosistem digital yang kompleks ini dan lebih proaktif dalam mencari pengetahuan tentang investasi melalui berbagai platform yang tersedia,” ujarnya.
Petugas menunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di Bank Mandiri, Jakarta, Jumat (11/10/2024). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Tantangan Literasi Keuangan dan Investasi Kelas Menengah
Terdapat angin segar di tengah tantangan ekonomi yang dihadapi oleh kelas menengah Indonesia antara lain literasi keuangan yang semakin membaik. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BPS, tingkat literasi keuangan Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan.
Dari 38,03 persen pada 2019, kini angka tersebut melonjak menjadi 65,43 persen pada 2024. Pertumbuhan literasi ini menjadi sinyal positif bagi keberlangsungan kelas menengah di tengah tekanan ekonomi yang terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Benny Sufami, Co-Founder Tumbuh Makna, platform literasi keuangan, melihat perkembangan ini sebagai kesempatan bagi masyarakat kelas menengah untuk lebih cerdas dalam mengelola keuangan mereka. Di tengah tantangan ekonomi seperti kenaikan harga barang dan suku bunga, pemahaman yang lebih baik tentang keuangan dan investasi memberikan peluang bagi masyarakat untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
Benny menekankan bahwa dengan literasi yang semakin kuat, masyarakat kini lebih siap dalam membuat keputusan keuangan yang lebih bijak dan terhindar dari jebakan keuangan seperti pinjaman online ilegal atau keputusan finansial impulsif lainnya.
"Peningkatan literasi ini memberi kita harapan. Sekarang, masyarakat kelas menengah memiliki lebih banyak pengetahuan untuk mengelola keuangan dengan baik. Dengan edukasi keuangan yang tepat, mereka bisa lebih memahami cara-cara mengelola pendapatan, melakukan budgeting yang efektif, serta memilih instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko masing-masing," jelas Benny.
ADVERTISEMENT