Resesi Seks di China: Generasi Muda Pilih Sendiri daripada Tertekan Ekonomi

12 Mei 2025 12:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon penumpang di ruang tunggu stasiun kereta Beijing Selatan, Beijing, China pada Senin (20/1/2025). Foto: Desca Lidya Natalia/Antara FotoPilihan untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak menjadi bom waktu demografi di China. Angka pernikahan yang merosot tajam memperburuk krisis populasi di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
zoom-in-whitePerbesar
Calon penumpang di ruang tunggu stasiun kereta Beijing Selatan, Beijing, China pada Senin (20/1/2025). Foto: Desca Lidya Natalia/Antara FotoPilihan untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak menjadi bom waktu demografi di China. Angka pernikahan yang merosot tajam memperburuk krisis populasi di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
ADVERTISEMENT
Penurunan angka pernikahan di China semakin memperparah krisis demografi yang sudah mengkhawatirkan. Meskipun pemerintah Beijing terus mendorong kebijakan pro-natalis, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Pro-natalis merupakan serangkaian kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan angka kelahiran dan pertumbuhan populasi di negara tersebut.
Abby Gao, seorang perencana pernikahan di Beijing, telah menggeluti bisnis ini selama hampir dua dekade. Ia tersenyum mengenang masa kejayaan, ketika ia memesan 58 mobil mewah termasuk Rolls-Royce dan Lamborghini untuk sebuah iring-iringan pengantin.
Gao juga pernah menghiasi tempat pernikahan dengan 35.000 mawar dan menyiapkan botol-botol minuman keras Moutai seharga ratusan dolar untuk tamu undangan.
Namun kini, bisnis Gao berubah haluan. Ia mulai menggarap pesta ulang tahun anak-anak akibat menurunnya permintaan untuk pernikahan.
"Permintaan [acara pernikahan] menurun drastis," ujar Gao.
"Tahun lalu, saya hanya menangani sekitar 100 pernikahan, padahal di masa puncaknya bisa sampai 2.000 klien per tahun. Anak muda sekarang lebih mengutamakan kebahagiaan pribadi, dan itu tidak selalu berarti pernikahan,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Angka Pernikahan Anjlok
Data menunjukkan, angka pernikahan di Tiongkok tahun lalu anjlok hampir 21 persen ke titik terendah sepanjang sejarah. Penurunan ini memperburuk krisis demografi.
Angka kelahiran turun, dan populasi menyusut selama tiga tahun berturut-turut. Kondisi ini menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan tenaga kerja, di tengah populasi lansia yang terus meningkat.
Secara budaya, kelahiran anak di luar nikah masih dipandang tabu. Tradisi dan aturan administratif menuntut pasangan memiliki surat nikah untuk mendaftarkan kelahiran anak agar mendapat akses layanan publik.
Meski beberapa provinsi telah melonggarkan aturan tersebut, tren angka kelahiran belum juga membaik. Presiden Xi Jinping pun angkat suara.
Ia menyerukan bimbingan ideologis untuk membentuk pandangan kaum muda tentang pernikahan dan keluarga. Media milik negara bahkan menyarankan universitas mengajarkan pendidikan cinta agar mahasiswa memahami hubungan emosional dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Gelontoran Insentif
Sejumlah penumpang menunggu kedatangan kereta cepat di Stasiun kereta Shanghai Hongqiao, China, Jumat (24/1/2025). Foto: Go Nakamura/REUTERS
Pemerintah Tiongkok telah berusaha memberi insentif, mulai dari subsidi, pemangkasan birokrasi, hingga mendorong mahar yang lebih masuk akal.
Sejak kebijakan satu anak dihentikan pada 2016, pemerintah juga memberi uang tunai serta perpanjangan cuti melahirkan dan cuti ayah. Namun hasilnya belum maksimal.
Semakin banyak anak muda justru mengadopsi pandangan hidup tidak menikah, dan tidak punya anak. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama.
Biaya pernikahan mahal, harga rumah selangit, dan pengangguran tinggi membuat mereka menunda bahkan menolak pernikahan. Budaya patriarki dan peran tradisional perempuan juga menjadi sorotan.
"Penurunan angka pernikahan ini sudah mengakar," kata analis Bloomberg Intelligence, Ada Li.
"Anak muda semakin skeptis terhadap ikatan tradisional karena alasan biaya hidup, pengangguran, dan ekonomi yang lesu,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini terlihat jelas di pasar perjodohan Taman Kuil Surga di Beijing. Empat kali seminggu, orangtua berkumpul di sana mencari pasangan untuk anak-anak mereka.
Di pagar taman, ratusan lembar profil lamaran berjajar, lengkap dengan usia, tinggi badan, latar pendidikan, hingga kepemilikan rumah dan mobil.
Ilustrasi Pernikahan di China. Foto: Pigprox/shutterstock
Sebagian besar orangtua meninggalkan nomor kontak. Ada pula yang berjaga di samping profil sambil berharap bisa bertemu langsung dengan calon menantu atau orangtuanya.
“Biaya menikah sangat tinggi. Kebanyakan perempuan ingin rumah di Beijing dan mobil, itu sangat sulit bagi saya,” ujar Morningstar Yang, 34 tahun, desainer animasi asal barat daya Tiongkok.
Di kota-kota besar seperti Beijing, harga apartemen sudah tidak terjangkau. Satu meter persegi di kawasan sekolah unggulan bisa lebih mahal dari penghasilan tahunan rata-rata.
ADVERTISEMENT
Hampir satu dari enam warga usia 16–24 tahun di luar pendidikan penuh waktu saat ini menganggur. Tak heran jika pernikahan dan punya anak terasa semakin mustahil.
"Subsidi mungkin hanya solusi jangka pendek. Dengan ekonomi yang melambat dan tekanan hidup meningkat, punya anak hanya akan menambah beban," kata Yang.
Menolak Menikah
Pembukaan Kongres Partai Komunis China oleh Presiden Xi Jinping Foto: Thomas Peter/Reuters
Penolakan terhadap pernikahan juga tumbuh dari kalangan perempuan. Meski Partai Komunis mengedepankan kesetaraan gender Mao Zedong pernah menyebut perempuan menopang separuh langit.
Presiden Xi kini mendorong pandangan lebih konservatif. Dalam pidatonya tahun 2013, ia mengatakan perempuan harus menjadi istri dan ibu yang baik.
Pada 2023, ia meminta organisasi perempuan membantu menumbuhkan budaya pernikahan dan kelahiran yang baru.
Di media sosial, topik ini kerap viral. Perempuan muda, terdidik, dan mandiri secara finansial mengutarakan alasan mereka enggan menikah.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak mau memasak tiga kali sehari, mencuci kaus kaki pria, atau membersihkan mainan anak. Saya hanya ingin hidup bahagia,” kata influencer bernama Ling’er di Xiaohongshu, platform mirip Instagram di Tiongkok.
Jin Tianchen, lulusan Universitas Peking dengan dua juta pengikut, mengaku takut kehilangan jati diri jika terlalu fokus pada pernikahan. “Kalau menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup, saya bisa tergoda untuk berkompromi dan mengubah diri saya sendiri,” katanya.
Menurut Pan Wang, dosen di University of New South Wales dan penulis Love and Marriage in Globalizing China, feminisme berperan besar dalam perubahan pandangan ini.
“Perempuan sekarang lebih mandiri secara ekonomi dan mental. Ketergantungan pada pria menurun, sehingga dorongan untuk menikah juga ikut berkurang,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Meski ekonomi melambat, media sosial justru dipenuhi influencer tanpa anak yang membanggakan kebebasan finansial dan gaya hidup bebas dari bangun siang hingga liburan dadakan. Dahulu, perempuan lajang di akhir usia 20-an disebut sheng nu atau “wanita sisa”. Kini, label itu bergeser menjadi “wanita sisa emas”, simbol perempuan sukses yang menolak tunduk pada tekanan sosial.