Respons Kementerian BUMN Soal PGN yang Kalah Gugatan Pajak Rp 3,06 T

4 Januari 2021 18:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Staf Khusus Kementerian BUMN, Arya Sinulingga. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Staf Khusus Kementerian BUMN, Arya Sinulingga. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
ADVERTISEMENT
Kementerian BUMN angkat suara terkait PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memiliki perkara hukum atas sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atau DJP pada tahun 2012 dan 2013. PGN kalah gugatan dari DJP dan wajib membayar Rp 3,06 triliun.
ADVERTISEMENT
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, memastikan Kementerian BUMN bakal melihat baik-baik kasus tersebut. Ia mengungkapkan sudah ada langkah yang akan dilakukan.
“Jadi langkah yang akan kami lakukan ada dua, pertama, kami akan bicarakan hal ini ke Kemenkeu karena mereka juga sudah mengakui bahwa ini bukan objek pajak, Kementerian BUMN akan lakukan pembicaraan dengan Kemenkeu,” kata Arya kepada wartawan melalui pesan tertulis, Senin (4/1).
Langkah kedua yang diambil adalah melihat putusan dari kasus yang mirip antara PGN dengan DJP. Arya mengatakan dengan dasar tersebut pihaknya bakal meminta PGN untuk melakukan langkah-langkah hukum lanjutan.
“Misalnya melakukan langkah hukum PK 2 namanya, itu memungkinan karena sudah diakui bahwa ini bukan objek pajak, kenapa bukan objek pajak karena selama ini PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas tersebut,” ujar Arya.
ADVERTISEMENT
Arya menjelaskan apabila PGN mengutip pajak dari konsumennya dan tidak membayar kepada negara untuk pajaknya, maka bisa jadi PGN yang salah. Menurutnya, permasalahan ini bukan soal membayar pajak tapi apakah objek tersebut objek pajak atau tidak.
“Kita sih optimistis ini bisa dilakukan dan tidak akan membuat PGN rugilah karena ada langkah-langkah yang kita lakukan dan kita yakin di Kemenkeu akan mendukung kita juga untuk hal ini,” terang Arya.
Seperti diketahui, sengketa tahun 2012 dari kedua belah pihak tersebut berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan gas bumi.
Sementara sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Pada Juni 1998, Perseroan menetapkan harga gas dalam USD/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.
ADVERTISEMENT
“DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan Perseroan berpendapat harga dalam USD/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN,” seperti dikutip kumparan dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Senin (4/1).
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menerapkan Smart Utility yang berkelanjutan. Foto: Dok. Pertamina
Atas sengketa tersebut, DJP menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 triliun untuk 24 masa pajak.
Selain sengketa tersebut, juga masih terdapat sengketa Perseroan dengan DJP untuk jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 miliar.
Proses upaya hukum yang telah diajukan atas penetapan 49 SKPKB yaitu, pada tahun 2017, Perseroan mengajukan upaya hukum keberatan, namun DJP menolak permohonan tersebut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada tahun 2018, Perseroan mengajukan upaya hukum berupa banding melalui Pengadilan Pajak dan pada tahun 2019 Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding Perseroan dan membatalkan ketetapan DJP atas 49 SKPKB.
Atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, pada tahun 2019, DJP mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
“Atas upaya pengajuan PK oleh DJP untuk 49 SKPKB, saat ini terdapat 30 Putusan MA dalam website MA yang menginformasikan permohonan PK yang diajukan DJP telah diputuskan dikabulkan dengan nilai sengketa Rp 3,06 triliun. Namun Perseroan belum menerima salinan Putusan MA sesuai prosedur yang ditetapkan dalam UU Mahkamah Agung,” tulis keterangan tersebut.
Adapun Perseroan dapat menyampaikan dampak terhadap aspek operasional, keuangan, dan hukum perseroan atas perkara hukum sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. Perseroan memiliki potensi kewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 triliun ditambah potensi denda. Namun demikian, Perseroan tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut.
b. Sejalan dengan upaya hukum pada point a, Perseroan akan mengajukan permohonan kepada DJP terkait penagihan pajak agar dilakukan setelah upaya hukum terakhir sesuai peraturan perundang-undangan, dengan pembayaran melalui diangsur/cicilan atau mekanisme lainnya sehingga Perseroan dapat mengatasi kesulitan keuangan dan tetap dapat melaksanakan bisnis ke depannya dengan baik, termasuk menjalankan penugasan Pemerintah.
“Dalam Laporan Keuangan Perseroan per 30 September 2020, Perseroan belum membukukan/ membentuk pencadangan atas nilai sengketa di atas karena pada saat penyusunan Laporan tersebut,” tulisnya.
Perseroan masih memiliki keyakinan bahwa Perseroan dapat memenangkan perkara yang disengketakan atas dasar pertimbangan Pengadilan Pajak telah mengabulkan seluruh permohonan Perseroan pada angka 1.d yang didukung dengan penegasan DJP melalui:
ADVERTISEMENT
a. Surat DJP Nomor : S-470/WPJ.19/KP.0307/2009 tanggal 19 Agustus 2009 yang menegaskan bahwa gas bumi yang dijual Perseroan merupakan barang hasil pertambangan yang tidak dikenai PPN.
b. Surat DJP Nomor : S-2/PJ.02/2020 tanggal 15 Januari 2020 yang menegaskan bahwa kegiatan mengalirkan gas bumi dalam rangka penjualan gas bumi kepada pelanggan merupakan satu kesatuan kegiatan menyerahkan gas bumi yang tidak dikenai PPN.
c. Tagihan pajak atas sengketa yang sama untuk periode tahun 2014-2017 telah dihapus oleh DJP.
Perseroan memperoleh informasi adanya putusan PK melalui website MA pada tanggal 18 Desember 2020 setelah Laporan Keuangan Perseroan per 30 September 2020 disampaikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Saat ini, Perseroan sedang mengevaluasi dan menyiapkan upaya hukum yang akan ditempuh yang pelaksanaannya akan dilakukan setelah menerima Salinan Putusan PK secara resmi sesuai prosedur yang ditetapkan UU Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT