Respons Pekerja Perempuan soal Wacana Cuti Hamil Jadi 6 Bulan

18 Juni 2022 13:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ibu hamil dengan hijab. Foto: PR Image Factory/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu hamil dengan hijab. Foto: PR Image Factory/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kabar cuti hamil menjadi 6 bulan muncul setelah DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) untuk dibahas lebih lanjut menjadi UU. Kesepakatan ini dibahas bersama Pemerintah pada agenda Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (9/6) lalu.
ADVERTISEMENT
RUU KIA ini disebut oleh Ketua DPR RI Puan Maharani ditujukan untuk mendukung laju pertumbuhan emas anak atau golden age. Lantas, bagaimana pekerja perempuan menanggapi rencana cuti hamil menjadi 6 bulan?
Aminah, salah satu pekerja yang saat ini tengah menjalani masa kehamilannya, merespons RUU KIA ini dengan penuh pertanyaan. Baginya, RUU KIA ini dapat menjadi buah simalakama.
Aminah sebenarnya menyambut baik adanya perpanjangan cuti. Namun, ia juga merasa kurang percaya diri jika RUU KIA ini disahkan karena ada kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi.
“Aku belajar dari pengalamanku kita dapat cuti melahirkan 3 bulan aja perusahaan sudah merasa kalang kabut, merasa bahwa mereka harus mengeluarkan effort yang lebih lagi buat cari pengganti ibu hamil,” ungkap Aminah kepada kumparan, Sabtu (18/6).
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi itu, Aminah merasa tidak percaya perusahaan akan patuh untuk menjalankan kebijakan tersebut. Ia ragu dengan panjang cuti menjadi 6 bulan perusahaan akan mau untuk membayar gaji ibu hamil tanpa bekerja sama sekali.
Selain itu, Aminah juga takut posisinya akan digantikan oleh laki-laki karena menurutnya perusahaan bisa saja merasa dirugikan karena membayar seseorang yang sedang cuti dengan jangka waktu lama.
“Bisa jadi lowongan banyak dibuka untuk laki-laki, tapi karena dengan alasan pengeluaran berlebih itu dilahirkan ke laki laki. Jadi semakin sempit kembali peluang perempuan itu untuk berkarier,” keluhnya.
Senada dengan Aminah, pegawai kontrak yang baru saja menikah bernama Bunga juga merespons RUU KIA dengan hal yang sama. Menurut Bunga, wacana cuti 6 bulan tersebut memang menguntungkan agar ibu hamil dapat istirahat dan memiliki waktu yang cukup bersama buah hati. Akan tetapi, ia takut hal ini akan berpengaruh kepada karier pekerja perempuan.
ADVERTISEMENT
“Ini bisa merugikan bagi kaum perempuan, karena akan berdampak bagi karier ke pekerja wanita yaitu kesempatan kerjanya lebih kecil, karena perusahaan akan berpikir ulang lagi untuk menggaji karyawannya (perempuan) dan kemungkinan perusahaan akan lebih memprioritaskan untuk pekerja laki-laki,” terang Bunga.
Penetapan masa cuti melahirkan sebelumnya diatur pada Undangan-undang no 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja dengan durasi waktu sebatas 3 bulan saja. Lewat RUU KIA, cuti hamil berubah menjadi 6 bulan dan masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran.
RUU KIA juga mengatur penetapan upah bagi Ibu yang sedang cuti melahirkan di mana untuk 3 bulan pertama masa cuti, ibu bekerja mendapat gaji penuh dan mulai bulan keempat upah dibayarkan sebanyak 70 persen.
ADVERTISEMENT
Puan: DPR Dorong Cuti Ibu Hamil Jadi 6 Bulan Demi Songsong Generasi Emas
Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan RUU ini dirancang untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul.
“RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 kita harapkan bisa segera rampung. RUU ini penting untuk menyongsong generasi emas Indonesia,” kata Puan, Senin (13/6).
Puan mengatakan, RUU KIA menitikberatkan pada masa pertumbuhan emas anak atau golden age yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak yang kerap dikaitkan dengan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai penentu masa depan anak. Oleh karena itu, RUU ini menekankan pentingnya penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, ada sejumlah hak dasar yang harus diperoleh seorang ibu. Di antaranya, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, jaminan kesehatan saat kehamilan, mendapat perlakuan dan fasilitas khusus pada fasilitas, sarana, dan prasarana umum.
“Dan tentunya bagaimana seorang ibu mendapat rasa aman dan nyaman serta perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, termasuk dari tempatnya bekerja,” tuturnya.
Puan mengingatkan, masa 1.000 HPK yang salah akan berdampak pada kehidupan anak. Jika HPK tidak dilakukan dengan baik, anak bisa mengalami gagal tumbuh kembang serta kecerdasan yang tidak optimal.