RI Bakal Jadi Negara Pertama yang Kenakan Bea Meterai di E-commerce

16 Juni 2022 13:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi belanja online menggunakan mobile banking. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi belanja online menggunakan mobile banking. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Puteri Komarudin, menyoroti rencana pemerintah yang akan mengenakan bea meterai untuk syarat dan ketentuan tertentu (term and condition/T&C) pada platform digital, termasuk e-commerce.
ADVERTISEMENT
Puteri mengatakan, rencana kebijakan tersebut harus didukung kajian komprehensif yang mempertimbangkan aspek teknis dan substantif dari berbagai sektor terkait. Dampak terhadap UMKM, industri digital dan masyarakat umum sebagai konsumen juga turut dipertimbangkan.
“Apabila diterapkan, Indonesia menjadi negara pertama memajaki dokumen elektronik. Kita tidak punya pembanding dan sangat diperlukan konsiderasi matang dari segi teknis dan substantif,” ujar Puteri dalam diskusi IdEA virtual, Kamis (16/6).
Menurut dia, kebijakan pengenaan bea meterai ini tidak hanya fokus pada manfaat sisi pemanfaatan negara yang akan bertambah. Namun, pemerintah juga perlu melihat dampak negatif terhadap laju digitalisasi dan transaksi ekonomi digital.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) Budi Primawan menyebut, pengenaan bea meterai T&C bisa menjadi hambatan bagi masyarakat yang memanfaatkan layanan secara digital, minat pengguna dan penjual menggunakan platform digital pun bisa menurun.
Tampilan meterai elektronik. Foto: Ditjen Pajak
Pengenaan bea meterai terhadap T&C menimbulkan biaya tambahan yang besar bagi para pengguna, termasuk penjual dan pembeli. Traffic kunjungan platform dan angka pendaftaran pengguna akan menurun. Bagi penjual, misi digitalisasi UMKM pemerintah akan terhambat dan menurunnya potensi penerimaan perpajakan dari ekosistem digital di masa depan.
ADVERTISEMENT
“Pengenaan bea meterai terhadap T&C berpotensi ciptakan perlakuan perpajakan berbeda antara ekosistem online dan kegiatan bisnis offline. Kalau T&C online diterapkan, maka T&C offline juga diterapkan,” katanya.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menjelaskan, saat ini pihaknya belum mendapatkan pemahaman yang komplit dari pemerintah mengenai rencana pengenaan bea meterai di e-commerce. Sebab menurutnya, transaksi e-commerce pun dilakukan bisa lintas negara.
"Yang saya belum clear adalah apakah peraturan bea meterai T&C yang karakternya lintas negara. Kalau konsumen di sini, user di luar, bagaimana penyediaannya, apakah amazon akan dikenakan bea meterai?" kata Sudaryatmo.
Ia pun meminta otoritas pajak untuk melakukan diskusi sebelum aturan itu diterapkan. Sebab, kata dia, bisa saja nantinya justru kebijakan itu merugikan konsumen.
ADVERTISEMENT
"Kalau dokumen T&C menjadi objek pajak, berlaku di layanan publik kontraproduktif. Kalau layanan ini jadi program pemerintah dan sifatnya mandatory, kenapa pemerintah harus mencari pendapatan melalui bea meterai? Bagaimana biaya tambahan bagi konsumen?" jelas dia.
Sementara itu, Kasubdit Peraturan Perdagangan, Jasa dan PTLL Ditjen Pajak Bonarsius Sipayung mencermati isu yang ditanggapi adalah persamaan perlakuan. Ia menegaskan, pemerintah tentunya menjaga persamaan perlakuan membayar pajak bagi warga negara.
“Kalau ada survei persetujuan transaksi digital Rp 5 juta (dikenai bea meterai), masyarakat setuju karena keberpihakan atas masyarakat kecil. Transaksi digital Rp 5 juta rasa-rasanya tidak banyak, itu hanya orang tertentu,” imbuhnya.
Bonarsius mengingatkan, pembangunan kesadaran dari seluruh warga negara untuk bergotong royong membayar pajak. Dengan menerapkan bea meterai Rp 10.000 untuk transaksi sebesar Rp 1 miliar, maka pemerintah mendapat tambahan penerimaan negara sebesar Rp 10 triliun.
ADVERTISEMENT