Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
21 Ramadhan 1446 HJumat, 21 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
RI Masih Bisa Kecipratan Relokasi Pabrik dari China, Ini Syaratnya
20 Maret 2025 6:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan, salah satu penarik investor masuk ke Vietnam adalah perjanjian dagang atau Free Trade Agreement (FTA).
Negara tersebut telah memiliki perjanjian dagang yang cukup lama dengan AS. Sementara Indonesia selama ini hanya mengandalkan Generalized System of Preferences (GSP).
Selain itu, Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-UE CEPA) juga masih belum bisa diteken meski perundingannya telah dimulai sejak 2016 lalu.
“Jadi kita harus bangun FTA, terutama negara-negara tujuan ekspor yang demand-nya itu kuat. AS sama Eropa. Nah kalau itu kita bisa menyamakan mereka mungkin ceritanya lain,” kata Bob kepada kumparan, Rabu (19/3).
Selanjutnya, Indonesia juga masih perlu menyelesaikan payung hukum bagi sektor ketenagakerjaan, salah satunya poin soal upah. Hal ini karena upah memiliki porsi yang patut diperhitungkan dalam industri padat karya, kontribusinya bisa capai 25 persen dari ongkos produksi.
ADVERTISEMENT
“Karena gaji di China sudah mahal,” imbuhnya.
Dari sisi penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM), Bob melihat pemerintah perlu mengoptimalkan dana yang ada untuk meningkatkan skill pekerja di Tanah Air.
Bob menyoroti penggunaan dana untuk kartu Pra Kerja yang menurut dia masih bisa dioptimalkan dalam upaya re-skilling. Sebab upaya ini akan menghadirkan ahli-ahli baru yang mumpuni di bidangnya.
“Sebenernya di dunia ini kebutuhan pekerjaan itu besar, misalnya contoh welder di Jepang ya. Itu butuhnya besar gitu loh. Tapi memang untuk menciptakan seorang welder itu gak murah, butuh sekitar Rp 65 juta sampai Rp 80 juta (itu untuk) satu skill,“ terangnya.
Sehingga Indonesia dengan jumlah tenaga kerja yang tinggi, alokasi dana pelatihan juga harus jumbo, khususnya untuk penciptaan tenaga kerja dengan keahlian spesifik.
ADVERTISEMENT
“Kemudian juga pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya maintenance. Kita punya seribu pesawat, di mana maintenance-nya? Berarti kan kita harus menyediakan tenaga kerja yang bisa melakukan maintenance pesawat, training-nya bisa 3 tahun, biayanya bisa lebih dari Rp 100 juta. Tinggal dicari duit Rp 100 juta dari mana,” tutur Bob.
Senada dengan Bob, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga melihat Vietnam lebih siap menerima investor dari luar untuk masuk ke negaranya, baik dari sisi SDM maupun insentif.
Selain itu dia juga menyinggung adanya premanisme di sektor industri dan berbagai kendala informal lainnya.
“Di Vietnam, human capital indeknya jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Ketika mau bangun pabrik, perusahaan tidak dibebankan biaya “informal” yang tinggi seperti biaya pelicin, preman, mafia tanah. Itu yang membuat investor enggan ke Indonesia,” kata Nailul kepada kumparan, dikutip Kamis (20/3).
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemerintah juga dinilai belum mampu melindungi perdagangan dalam negeri secara optimal. Dia menyoroti sedikitnya komoditas yang dilindungi oleh kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
“Ada beberapa kebijakan yang tidak pro terhadap investor seperti kebijakan perdagangan yang tidak melindungi industri dalam negeri. Pemerintah kita masih sedikit dalam memberikan perlindungan perdagangan, seperti safeguard BMAD,” tutupnya.
Sebelumnya, pengusaha mebel mengungkap ada 630 perusahaan mebel yang direlokasi dari China ke Vietnam dalam dua dekade terakhir.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan sejak kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat (AS) pada periode pertama, perpindahan pabrik ini mengalami percepatan.
“Relokasi 630 perusahaan mebel dari China ke Vietnam memang terjadi secara bertahap dalam dua dekade terakhir, tetapi percepatan signifikan terjadi setelah perang dagang AS-China yang dimulai di era Trump (yaitu) 2016-2020,” tutur Abdul kepada kumparan, Sabtu (8/3).
ADVERTISEMENT
Sehingga, menurut dia ada lonjakan relokasi pabrik dalam waktu 8 tahun terakhir. Meskipun dia tidak membeberkan datanya.