Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Pemerintah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen pada setiap produk jasa atau barang digital dari luar negeri. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Juli 2020.
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Namun kebijakan tersebut membuat Presiden AS Donald Trump geram. Apalagi, kebanyakan platform digital yang akan dikenai PPN tersebut berasal dari Negeri Paman Sam.
Akademisi Fakultas Hukum UGM, Adrianto Dwi Nugroho, mengatakan sebenarnya respons pemerintah AS tersebut beralasan. Dalam aturan AS atau Section 310 of the Trade Act of 1974 disebutkan bahwa pemerintah AS berhak menerapkan retaliasi perdagangan ketika perusahaan asal AS di yurisdiksi tersebut dikenakan pajak diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, dalam Section 891 of the Internal Revenue Code disebutkan bahwa Presiden AS dapat mengenakan pajak dengan tarif dua kali lipat bagi perorangan maupun badan asal yurisdiksi yang mengenakan pajak diskriminatif bagi perusahaan asal AS.
"Trump ancam perang dagang ini sudah ada di aturannya pemerintah AS, retaliasi. Kalau negara market memaksa, terjadi pajak berganda," ujar Adrianto dalam diskusi virtual, Rabu (10/6).
Selanjutnya, platform digital sebenarnya juga sudah dikenakan pajak di negara asalnya. Jika di negara lain juga dikenakan, maka platform digital tersebut dikenakan pajak berganda.
Hal itu akan mempengaruhi keuntungan platform digital itu sendiri. Sehingga wajar, jika pemerintah AS marah karena juga akan berpengaruh pada penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
"Profit itu dikenakan di negara domisili sebagai income corporate tax. Ini bisa ganggu pelaku ekonomi sendiri, karena ada kebijakan pajak yang enggak mencapai konsensus," jelasnya.
Sementara itu, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan, diperlukan komunikasi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara asal platform digital tersebut.
Sebab menurut dia, Indonesia berhak memungut pajak berdasarkan penghasilan di wilayah tersebut atau destination based income.
"Menurut saya implementasi PMK ini tidak bertentangan maupun seharusnya dapat diterima AS. Karena mereka sendiri dalam beberapa kesempatan menyampaikan perpajakan digital PPN bisa digunakan sebagai solusi," katanya.
Dia melanjutkan, seharusnya lembaga multilateral perpajakan seperti OECD mampu menjadi penengah dalam persoalan perpajakan saat ini. Namun sayangnya, masih banyak negara yang belum mematuhi ketentuan OECD.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya juga ada fairness. Kalau kasus di Uni Eropa, ini ada indikasi bukan karena fairness, tapi karena mengejar penerimaan semata pada negara itu," tambahnya.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Dagang AS atau United State Trade Representative (USTR), Robert Lighthizer, menyebut pemajakan semacam itu sebagai upaya mengeruk pendapatan lokal dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara global. Termasuk korporasi di bawah Alphabet Inc, seperti Google dan Facebook.
Menurut dia, Presiden Donald Trump khawatir banyak mitra dagang mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan asal AS secara tidak adil.
"Kami siap mengambil berbagai tindakan yang sesuai untuk membela bisnis dan pekerja kami terhadap segala diskriminasi semacam itu," kata Lighthizer dalam sebuah pernyataan yang dilansir Reuters.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Kepala Perwakilan Dagang AS sedang menyelidiki pajak layanan digital yang diberlakukan Inggris, Italia, Brasil dan negara-negara lain. Tindakan pemajakan itu dianggap setara dengan pengenaan tarif bea masuk yang berpotensi meningkatkan ketegangan perdagangan.
Selain ke negara-negara tersebut, USTR menambahkan penyelidikan akan mencakup pajak layanan digital yang akan diberlakukan di Republik Ceko, Uni Eropa, India, Indonesia, Spanyol, dan Turki. USTR mengatakan telah meminta konsultasi dengan pemerintah-pemerintah ini.