Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Riset: Potensi Industri Manufaktur Energi Terbarukan Capai Rp 8.824 T pada 2060
27 Maret 2025 13:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan potensi ekonomi dari pengembangan industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia bisa mencapai Rp 8.924 triliun di tahun 2060.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025-2060. Dari target 443 GW kapasitas pembangkit energi pada 2060, sebesar 73,6 persen atau 326 GW akan berasal dari sumber energi baru dan energi terbarukan (EBT).
Energi matahari, angin, dan baterai masing-masing berkontribusi sekitar 109 GW, 74 GW, dan 34 GW. Namun, kapasitas ketiga teknologi ini diprediksi akan semakin meningkat dengan adanya tambahan produksi hidrogen hijau menjadi 266 GW PLTS, 73,5 GW PLTB, dan 58 GW penyimpanan energi.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menjelaskan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah, meskipun potensinya mencapai lebih dari 3.686 GW.
Dia mencontohkan, pemanfaatan PLTS baru mencapai 0,32 GW, jauh dari bawah potensinya lebih dari 3.300 GW yang tersedia. Rendahnya adopsi energi terbarukan berdampak pada lambatnya perkembangan industri manufaktur di sektor ini.
ADVERTISEMENT
"Saat ini industri manufaktur teknologi energi bersih kita masih berada pada tahap awal. Tanpa rantai pasokan domestik yang kuat, kita berisiko terlalu bergantung pada impor teknologi, yang tidak hanya meningkatkan kerentanan terhadap gangguan pasokan global, tetapi juga membatasi manfaat ekonomi yang bisa kita peroleh dari transisi energi ini," jelasnya melalui keterangan resmi, Kamis (27/3).
Dalam kajian Market Assessment for Indonesia’s Manufacturing Industry for Renewable Energy, IESR menyoroti peluang besar bagi industri manufaktur energi surya, angin, dan baterai di Indonesia untuk berkembang.
Optimalisasi pengembangannya berpotensi memberikan manfaat ekonomi signifikan, termasuk penciptaan 9,7 juta pekerjaan-tahun (job-years) pada 2060. Selain itu, total potensi ekonomi dari ketiga sektor ini diperkirakan mencapai USD 551,5 miliar atau sekitar Rp 8.824 triliun pada 2060.
Contohnya industri manufaktur energi surya, IESR menyebut hingga Juni 2024 kapasitas produksi modul surya Indonesia mencapai 4,7 GW/tahun. Jumlah ini akan meningkat menjadi 19 GW/tahun sebelum 2030 seiring dengan pengembangan industri modul surya yang terintegrasi dengan wafer dan sel silikon.
ADVERTISEMENT
Analisis IESR menunjukkan pengembangan industri PLTS dan rantai pasoknya (termasuk barang dan jasa, dan untuk mendukung target yang ditetapkan di RUKN) berpotensi menciptakan lapangan pekerjaan mencapai 5,7 juta job-years, dengan potensi ekonomi hingga USD 236,3 miliar pada 2060.
Sementara, untuk industri PLTB, IESR menilai permintaan terhadap teknologi ini masih rendah. Hal ini kontras dengan pertumbuhan kapasitas PLTB global yang mencapai 118 GW pada 2023, naik 36 persen dari 2022.
Saat ini, Indonesia hanya memiliki dua PLTB dengan kapasitas terpasang 154,3 MW, jauh dari potensinya yang mencapai 155 GW. Padahal, pengembangan industri manufaktur, konstruksi, operasi dan pemeliharaan sampai pengakhiran operasi (decommissioning) dari PLTB berpotensi menyumbang USD 75,2 miliar bagi perekonomian dan menciptakan 1,8 juta job-years pada 2060.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, untuk industri baterai, pada 2024 permintaan justru meningkat terutama untuk baterai kendaraan listrik hingga 25 kali lebih tinggi dibandingkan 2022. Pengembangan industri baterai untuk penyimpanan energi dan kendaraan listrik memiliki potensi ekonomi hingga USD 240 miliar dan 2,2 juta pekerjaan pada 2060.
Analis Data Energi IESR, Abyan Hilmy Yafi, mengatakan selain manfaat ekonomi, pengembangan industri manufaktur EBT juga memberikan kontrol lebih besar atas pasar produk dan rantai pasok, memberdayakan bahan baku domestik, serta mendorong pertumbuhan industri.
“Pengembangan tiga teknologi ini akan mengurangi ketergantungan terhadap impor dan bisa terhindar dari dampak kerentanan terhadap fluktuasi harga global. Untuk memastikan keuntungan dari pengembangan ini pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan, insentif, dan pendanaan yang jelas serta konsisten,” jelas Hilmy.
ADVERTISEMENT