Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Riset: Selama Jokowi Menjabat, Tambang Nikel RI Terlalu Bergantung pada China
9 Februari 2024 10:18 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berdasarkan riset Corporate and Investment Banking, Natixis, Indonesia pada masa awal pemerintahan Jokowi menjadi contoh keberhasilan investasi asing (foreign direct investment/FDI) pertambangan di tengah siklus super komoditas yang membuat harga terpuruk.
Hal ini didukung kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020 dan mimpi Jokowi mendorong Indonesia menjadi kunci ekosistem baterai, membuat banyak perusahaan China yang ingin memanfaatkan sumber daya nikel tertarik berinvestasi.
Kemudian, peningkatan lapangan kerja secara keseluruhan masih sedikit karena sektor pertambangan merupakan sektor padat modal dan hanya menyumbang 1 persen dari total lapangan kerja, sehingga membatasi permintaan terhadap talenta lokal.
Dibandingkan dengan negara-negara yang lamban dalam investasi asing seperti Thailand, Malaysia dan Filipina, Indonesia memiliki kinerja yang baik. Namun, dibandingkan dengan besarnya PDB dan jumlah penduduk usia kerja sebesar 189 juta jiwa, Indonesia cenderung mengabaikan keunggulan demografisnya.
ADVERTISEMENT
"Pasar tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja informal, yaitu sebesar 59 persen dari total pekerja. Sektor pertambangan belum menghasilkan lapangan kerja absolut karena hanya menyumbang 1 persen dari total lapangan kerja," kata riset itu.
Walaupun nikel dipandang sebagai masa depan Indonesia, manfaatnya terlalu bertumpu pada aliran masuk investasi asing dibandingkan ekspor. Saat ini, komoditas ekspor terbesar Indonesia adalah batu bara, minyak sawit, dan gas alam. Ketika nilai komoditas itu meningkat, pendapatan ekspor Indonesia juga meningkat.
Sementara itu, porsi total ekspor Indonesia ke China selama masa jabatan Jokowi meningkat tajam, jauh dibandingkan ekspor ke AS, Eropa, dan Jepang yang mengalami penurunan. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara seperti Vietnam dan Korea Selatan yang ekspor ke AS meningkat.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, ekspor barang-barang manufaktur Indonesia sebagai bagian dari Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami stagnasi sebesar 8 persen dalam satu dekade terakhir, sementara komoditas ekstraktif meningkat. Sebagian besar pertumbuhan tersebut didorong oleh pengiriman ke China.
Kemudian, riset tersebut menyatakan porsi investasi asing Indonesia telah meningkat menjadi 15 persen, dari total 1 persen pada awal masa jabatan Jokowi. Terlalu bergantungnya Indonesia terhadap investasi China dipandang sebagai hambatan utama Indonesia mencapai kemajuan dalam negosiasi mengenai pengecualian Inflation Reduction Act (IRA) dengan AS.
Indonesia tidak memiliki perjanjian Free Trade Agreement (FTA) dengan AS, sehingga nikel yang ditambang di Indonesia tidak memenuhi syarat pengecualian IRA. Adapun IRA merupakan kebijakan penyaluran subsidi kepada produsen yang menggunakan energi bersih di AS.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga dinilai mengalami berbagai kelemahan struktural, seperti rendahnya nilai ekspor secara agregat karena rendahnya pangsa sektor manufaktur, baik dalam nilai absolut maupun relatif terhadap PDB.
Berbeda dengan negara Asia Tenggara lain yang lebih banyak mengekspor barang manufaktur dan barang dengan nilai tertinggi seperti semikonduktor atau elektronik, barang-barang ekspor terbesar Indonesia yaitu batu bara, minyak sawit, dan gas alam.
"Hal ini berarti bahwa struktur ekspor Indonesia mencerminkan kekayaan sumber daya alamnya namun belum sepenuhnya memasukkan kekayaan tenaga kerja sebagai dampak dari pukulan pangsa pasar ekspor manufaktur global," tutur riset tersebut.