RS dan Klinik Keluhkan Syarat Akreditasi di BPJS Kesehatan

7 November 2019 19:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisi IX DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Asosiasi Rumah Sakit, Kamis (7/11). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komisi IX DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Asosiasi Rumah Sakit, Kamis (7/11). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masalah BPJS Kesehatan kembali menjadi pembahasan DPR. Kali ini Komisi IX DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan asosiasi kesehatan, Kamis (7/11). Rapat tersebut diikuti oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (Arssi), Asosiasi Klinik (Asklin), hingga Pengurus Asosiasi Dinas Kesehatan (Asdinkes).
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan itu, rumah sakit dan klinik mengeluhkan akreditasi sebagai salah satu syarat untuk menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Wakil Ketua Arssi, Noor Adida Sofiana, menyatakan tidak setuju akreditasi menjadi syarat mutlak kerja sama dengan BPJS. Ia menilai hal tersebut dapat mengganggu rumah sakit dalam memberikan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
“Tentunya kami tidak setuju kalau akreditasi itu digunakan untuk syarat mutlak kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Tentunya dalam hal ini dengan masalah administrasi, akreditasi itu juga jangan sampai akses pelayanan kepada masyarakat terganggu,” ujar Noor di Gedung Nusantara I DPR, Kamis (7/11).
Ketimbang melihat akreditasi, ia lebih setuju perizinan rumah sakit yang dijadikan tolok ukur. Sebab pihaknya kerap menemukan permasalahan ketika mengurus perpanjangan akreditasi.
ADVERTISEMENT
“Akreditasi berakhir, BPJS Kesehatan biasanya langsung memutus hubungan kerja sama sehingga kita belum sempat memberitahukan kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan,” jelasnya.
Pasien peserta BPJS akan melakukan pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (31/7). Foto: ANTARA FOTO/Jojon
“Intinya, kami kiranya apakah bisa ditinjau kembali terkait persyaratan akreditasi, persyaratan mutlak untuk menjadi syarat perizinan dengan kontrak kerja sama BPJS Kesehatan,” sambungnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Ketua Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Kesehatan, Slamet Budiarto. Menurutnya, akreditasi bukanlah standar untuk menilai mutu pelayanan kesehatan suatu rumah sakit.
“Ada opini yang dikembangkan bahwa akreditasi adalah mutu, padahal tidak seperti itu. Hampir seluruh dunia tidak ada kewajiban akreditasi, yang ada adalah menjaga mutu pelayanan,” ujar Slamet.
“Penjagaan mutu tidak harus dengan akreditasi, bisa saja contoh Dinas Kesehatan Riau, dilatih saja di sana mengenai mutu dan pelayanan klinik. Kalau DPR tidak segera meluruskan penjaminan mutu ini, maka ini kita akan terbebani oleh biaya tadi,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ketua Asosiasi Klinik Eddi Junaedi menegaskan pihaknya tidak akan mengurus akreditasi apabila sistem tersebut belum diubah. Ia ingin penilaian terhadap akreditasi itu tidak hanya dilakukan satu lembaga saja.
Komisi IX DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Asosiasi Rumah Sakit, Kamis (7/11). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
“Kita belum mau akreditasi itu kalau pola sistem belum diubah. Kita ingin akreditasi klinik bukan satu lembaga, tapi beberapa lembaga. Supaya ada pilihan dan tidak menjadi patokan,” tegas Eddi.
“Kami mendukung akreditasi, tapi tidak mau (dilakukan) satu lembaga,” tegasnya.
Masalah akreditasi ini sempat mencuat, ketika ratusan rumah sakit dan klinik diputus kerja samanya dengan BPJS Kesehatan. Pihak pengelola fasilitas kesehatan mengaku keberatan, dengan biaya akreditasi yang bisa mencapai Rp 80 juta.