Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Rumah Subsidi Sepi Penghuni, Ekonomi Masyarakat Sulit?
23 September 2024 9:26 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ilalang tumbuh rimbun menutupi deretan perumahan tersebut. Semak belukar bahkan menjalar ke pekarangan, pintu, hingga mencapai atap bangunan rumah subsidi ini.
Kala kumparan menyambangi rumah murah yang berlokasi di Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten ini pada Jumat (20/9), suasana sepi terasa sedari gerbang masuk perumahan.
Jalanannya masih tanah berbatu tak merata. Dinding-dinding rumah retak di sana-sini. Sebagian tampak sepi tak ada penghuni.
Rumah ini dikembangkan PT Mahameru Mega Kontruksi. Terdiri dari 33 unit rumah dengan dua tipe, tipe 36/100 dibanderol dengan harga Rp 166 juta per unit, dan tipe 38/100 dengan harga Rp 235 juta per unit.
Kendati kondisi perumahan seperti itu, masih ada pemilik yang memilih bertahan. Padahal, perumahan tersebut masih banyak kekurangan salah satunya akses transportasi. Meski demikian, fasilitas seperti listrik dan air sudah terpenuhi dengan baik. Untuk air, perumahan ini sudah menggunakan PDAM, sedangkan listrik sudah terhubung dengan PLN.
ADVERTISEMENT
Jual Rumah Kian Sulit
Sudah lima bulan ini Syahrul (30) mengeluh sulitnya menjual rumah miliknya yang berlokasi di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten.
Ia sudah berusaha ke sana kemari untuk menawarkan rumah subsidi pemerintah yang ia beli enam tahun lalu itu. Namun usaha menjual rumah tipe 22/60 itu tak kunjung membuahkan hasil.
"Saya buka harga Rp 300 juta. Sudah banyak yang nanya dan survei, tapi belum ada yang deal," kata Syahrul kepada kumparan, Sabtu (22/9).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, tren penjualan rumah saat ini sedang mengalami perlambatan.
Meskipun sudah ada insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah. Namun, PPN DTP tersebut belum memberikan dampak terhadap penjualan rumah.
ADVERTISEMENT
"Karena si developer itu meskipun sudah ada potongan PPN tapi dia menyesuaikan harganya. Jadi soalnya memang ada potongan tapi harga akhirnya itu sebenarnya hampir tidak ada perubahan. Jadi yang menikmati untung lebih banyak lebih developer perumahannya itu," kata Bhima.
Kemudian, daya beli kelas menengah yang cenderung menurun. Hal ini dipicu oleh sisa dari pendapatan setelah dikurangi pengeluaran dan pajak pendapatan atau disposable income yang terus menurun.
"Disposable income terhadap PDB per kapitanya itu terus mengalami penurunan. Nah jadi itu artinya uang yang bisa digunakan untuk mencicil rumah lewat KPR itu semakin terbatas," ungkapnya.
Selain itu, perlambatan penjualan rumah ini juga dipicu oleh harga tanah yang melonjak. Bhima mengatakan, kenaikan harga tanah mencapai 30 sampai 40 persen per tahun. Nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan inflasi dari keramik, kaca, semen, dan pasir.
ADVERTISEMENT
"Nah, jadi yang menjadi beban paling besar sebenarnya daripada pembangunan rumah itu salah satunya adalah penyediaan lahan tuh. Jadi 60 persennya itu sudah habis buat pengadaan tanah," kata Bhima.
"Tanah ini kan naiknya terlalu cepat gitu ya. Dan akhirnya nggak seimbang dengan pendapatan masyarakat," ungkapnya.