Rupiah Anjlok ke Rp 16.412 per Dolar AS, Ekonom Ungkap Penyebabnya

15 Juni 2024 15:58 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Muhammad Adimaja/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Muhammad Adimaja/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nilai tukar rupiah ditutup melemah 142 poin menjadi Rp 16.412 per dolar AS pada Jumat (14/6). Pada perdagangan Kamis, kurs rupiah terhadap dolar AS ditutup di level Rp 16.270. Dalam sepekan, rupiah melemah 1,33 persen dan 0,87 persen secara harian.
ADVERTISEMENT
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pelemahan rupiah ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor global. Dolar AS dalam sepekan terakhir tercatat kembali menguat terhadap mata uang global, baik mata uang negara maju dan mata uang negara berkembang termasuk Rupiah.
Kinerja dolar AS terhadap mata uang terindikasi dari indeks dolar dalam sepekan ini yang tercatat menguat sebesar 0,63 persen ke level 105,55. Hal ini dipengaruhi oleh pelemahan mata uang euro, sterling, dan yen Jepang masing-masing 0,91 persen, 0,25 persen, dan 0,41 persen.
"Penguatan dolar AS didorong oleh shifting ke aset safe-haven di tengah gejolak yang sedang berlangsung dalam aset-aset Eropa menjelang pemilihan parlemen Prancis di akhir bulan. Sebelumnya data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan cenderung mendorong pelemahan dolar AS namun hasil rapat FOMC bulan Juni mengindikasikan Fed hanya akan memangkas suku bunga Fed sebesar 25 bps pada tahun ini sehingga mendorong kembali penguatan dolar AS," kata Josua kepada kumparan, Sabtu (15/6).
ADVERTISEMENT
Selain dari faktor global, pelemahan rupiah juga dipengaruhi pemberitaan dari salah satu kantor berita asing terkait kenaikan rasio utang pemerintah berikutnya meskipun belum dapat bisa dikonfirmasi sumbernya. Kebijakan belanja pemerintah ke depannya, yang dikhawatirkan cenderung lebih ekspansif pada masa pemerintahan mendatang sehingga defisit cenderung meningkat tajam.
"Kekhawatiran ini juga terefleksi dari kenaikan yield obligasi 10 tahun sebesar 21 bps ke level 7,20 persen dalam sepekan," kata Josua.
Di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global yang masih mendominasi, BI diperkirakan akan tetap berada di pasar untuk melakukan triple intervention dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sehingga berpotensi mempengaruhi perkembangan cadangan devisa dalam jangka pendek.
"Dengan kondisi ketidakpastian di pasar keuangan global, maka ruang penurunan suku bunga BI dalam jangka pendek cenderung tertutup sekalipun tingkat inflasi bulan Mei terkendali dan data cadangan devisa bulan Mei tercatat meningkat," kata Josua.
ADVERTISEMENT