Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Rupiah Anjlok ke Rp 16.618 per Dolar AS, Level Terendah Setelah Pandemi
25 Maret 2025 15:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pelemahan ini terjadi di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi. Direktur Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (BI), Fitra Jusdiman, menjelaskan beberapa faktor eksternal menjadi pemicu utama depresiasi rupiah.
"Kami melihat terutama memang karena faktor global yang masih penuh dengan ketidakpastian. Baik terkait kebijakan tarif Trump dan dampaknya ke negara lain, arah kebijakan the Fed yamg berpotensi lebih hawkish, dan gejolak geopolitik yang masih terus memanas. Hal ini membuat USD kembali menguat terhadap sebagian besar mata uang lain dan yield UST kembali meningkat," kata Fitra kepada kumparan, Selasa (25/3).
Selain faktor global, ada juga tekanan dari kebutuhan valas dalam negeri. Dia menyebut, sejumlah korporasi melakukan pembayaran repatriasi atau dividen.
ADVERTISEMENT
Menyikapi pelemahan ini, Fitra memastikan, Bank Indonesia tetap aktif di pasar dengan melakukan intervensi di tiga lini yakni pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
"BI terus memantau dan berada di pasar dengan melakukan upaya triple intervention (spot, DNDF, dan SBN) secara secara bold dan terukur untuk memastikan stabilitas nilai tukar dan keseimbangan demand/supply valas, sehingga dapat menjaga market confidence," kata Fitra.
Meskipun rupiah berada di level terlemah sejak pandemi, BI menegaskan kinerjanya dalam lima tahun terakhir masih lebih baik dibandingkan beberapa mata uang Asia lainnya.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) BI, rupiah sempat anjlok hingga Rp 16.741 per dolar AS pada 2 April 2020, sebelum akhirnya kembali menguat ke kisaran Rp 14.000 pada Juli 2020. BI menegaskan pemulihan tersebut dicapai melalui sinergi kebijakan yang melibatkan berbagai pihak.
Pelemahan rupiah terjadi bersamaan dengan tren penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang memicu kekhawatiran investor mulai menarik dananya dari Indonesia. Namun, BI menilai tekanan pada rupiah lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal dibandingkan kondisi ekonomi domestik.
ADVERTISEMENT
"Pergerakan nilai tukar suatu negara tentunya dipengaruhi oleh faktor eksternal dan domestik. Namun kondisi saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh ketidakpastian global yang pada akhirnya juga berdampak ke domestik,” ungkapnya.
Dia menambahkan, fenomena arus modal keluar dari negara berkembang adalah tren global, bukan hanya terjadi di Indonesia. Meski demikian, Fitra memastikan bahwa BI akan terus berkomitmen menjaga stabilitas rupiah dan inflasi.
"BI bersama otoritas terkait akan selalu commit untuk memastikan kestabilan nilai rupiah (inflasi dan nilai tukar), tentunya juga dengan dukungan semua masyarakat termasuk media," pungkasnya.