Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Rupiah Diprediksi Tembus Rp 16.000 Imbas Ancaman Resesi Global di 2023
9 Oktober 2022 16:03 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah terus melemah. Pada penutupan perdagangan Jumat (7/1) rupiah melemah 0,41 persen ke level Rp 15.251 per dolar Amerika Serikat (AS). Dalam sepekan, kurs rupiah spot melemah 0,16 persen. Sedangkan kurs rupiah Jisdor melemah 0,32 persen hari ini dan 0,09 persen dalam sepekan ke Rp 15.246 per dolar AS.
ADVERTISEMENT
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi, pelemahan rupiah akan berlanjut hingga 2023. Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut disebabkan oleh 3 faktor utama.
Pertama, tekanan resesi global menurunkan cadangan devisa. Kedua, berakhirnya era windfall harga komoditas yang selama ini membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
"Terakhir, pengetatan moneter yang dilakukan negara maju hingga kondisi ekonomi di China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia saat ini sedang mengalami slowdown," kata Bhima kepada kumparan, Minggu (9/10).
"Rupiah akan bergerak direntang Rp 15.300 hingga Rp 16.000 hingga awal tahun depan. Game changer-nya akan bergantung seberapa tinggi suku bunga Bank Indonesia (BI) naik untuk intervensi imbal hasil di pasar surat utang," jelas dia.
Jika BI bisa menaikkan suku bunga acuan hingga menjadi 5,5 persen hingga 6 persen, rupiah bisa menguat. Kendati demikian, lanjut dia, sektor riil akan terpukul kenaikan cost of financing atau biaya pinjaman.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede optimis, rupiah akan menguat di akhir tahun 2022. Sentimen penguatan dollar AS terhadap mata uang global termasuk rupiah, diperkirakan sifatnya sementara dan belum menggambarkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
"Hal tersebut terindikasi dari Real Effective Exchange Rate dari rupiah yang masih cenderung undervalued," ungkap Josua.
Menurut dia, Bank Indonesia tetap berada di pasar untuk tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi rupiah melalui triple intervention serta operation twist yang juga turut menjaga daya tarik investasi di pasar SBN domestik, di tengah sentimen negatif di pasar keuangan global.
Lebih lanjut, ekspektasi neraca transaksi berjalan yang masih berpotensi kembali surplus pada 3Q22 karena ditopang oleh kinerja ekspor yang cukup solid terutama ekspor batu bara, diharapkan akan mendorong posisi transaksi berjalan dalam keadaan yang sehat sehingga akan mendukung terjaganya keseimbangan supply dan demand valas di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Josua memproyeksi, Bank Indonesia berpotensi untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya. Dalam rangka menjangkar inflasi yang cenderung meningkat sekaligus disaat bersamaan untuk mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.
"Oleh sebab itu mempertimbangkan faktor fundamentalnya, rupiah diperkirakan berpotensi untuk menguat kembali di bawah level Rp 15.000 per dollar pada akhir tahun 2022 ini," tutur Josua.
Bank Indonesia Sebut Masih Lebih Baik dari Ringgit Malaysia
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Wahyu Agung Nugroho mencatat, nilai tukar rupiah per 30 September 2022 terdepresiasi sebesar 2,24 persen secara point to point (ptp) dibandingkan dengan akhir Agustus 2022. Sementara secara tahunan (ytd) rupiah terdepresiasi sebesar 6,40 persen dibandingkan dengan level akhir 2021.
ADVERTISEMENT
"Angka ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya," kata Wahyu di Ubud Bali, Sabtu (1/10).
Di sisi lain, Wahyu menjelaskan, pelemahan mata uang rupee India mencapai 8,65 persen. Sementara itu, mata uang ringgit Malaysia terdepresiasi hingga 10,16 persen, dan Thailand 11,36 persen.
Dia melanjutkan, perkembangan nilai tukar rupiah tetap terjaga. Hal tersebut ditopang oleh pasokan valas domestik dan persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik, serta langkah-langkah stabilisasi yang dilakukan oleh BI.
"Harapannya memang walau tekanan masih akan cukup tinggi, rupiah bisa lebih stabil. Tekanan saat ini lebih cenderung karena adanya kebijakan moneter yang agresif baik The Fed maupun ECB. Ada ketidakpastian mengenai kapan, sih, The Fed akan selesai naikkan suku bunga dan berapa besar," tandasnya.
ADVERTISEMENT