Rupiah Melemah di Tengah Tarif Impor AS, Momentum atau Malapetaka bagi Ekspor?

9 April 2025 16:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menunjukan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Foto: ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menunjukan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Foto: ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah terus menunjukkan volatilitas di tengah memanasnya kembali kebijakan dagang Amerika Serikat. Teranyar, Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif impor tinggi terhadap sejumlah produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di saat bersamaan, rupiah sempat menembus level Rp 17.000 per dolar AS, sebelum akhirnya ditutup menguat tipis 18,50 poin atau 0,11 persen di posisi Rp 16.872 per USD pada perdagangan Rabu (9/4), berdasarkan data Bloomberg.
Namun, pelemahan ini bukan sekadar fenomena jangka pendek atau sekilas teknikal semata. Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai pelemahan nilai tukar kali ini justru menjadi cerminan tekanan ekonomi yang lebih dalam.
Secara teori, rupiah yang melemah bisa menguntungkan eksportir karena nilai tukar yang lebih tinggi akan menghasilkan pendapatan dalam rupiah yang lebih besar. Namun, realita di lapangan jauh lebih kompleks.
Dalam konteks kebijakan tarif Trump, eksportir Indonesia justru menghadapi beban ganda. Di satu sisi, produk-produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik dikenakan tarif tinggi di pasar Amerika. Akibatnya, daya saing ekspor menurun dan permintaan bisa tertekan signifikan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, sebagian besar sektor ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada bahan baku impor. Melemahnya rupiah berarti biaya produksi meningkat, yang akhirnya mempersempit margin keuntungan.
“Lebih jauh lagi, pelemahan nilai tukar kali ini juga mencerminkan tekanan makroekonomi akibat ketidakpastian global dan capital outflow, bukan karena faktor fundamental ekspor yang menguat,” jelas Yusuf kepada kumparan, Rabu (9/4).
Sementara itu, pihak perbankan memandang kondisi saat ini masih dalam tahap yang bisa dikendalikan, meskipun risiko ketidakpastian tetap tinggi. Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai pergerakan nilai tukar akan tetap fluktuatif selama belum ada kejelasan atas kelanjutan kebijakan dagang AS.
“Kalau dari kita sih memang melihat untuk pergerakan rupiah kelihatannya masih akan terus volatile selama perkembangan terkait dengan kebijakan perang dagang dari Trump ini masih terus muncul dan belum ada kepastian atau certainty terkait dengan penanganan dari situasi ini,” katanya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Myrdal menambahkan, intervensi Bank Indonesia (BI) cukup memadai untuk menjaga pergerakan kurs agar tidak terlalu liar. Dengan cadangan devisa yang kuat, BI dinilai mampu meredam tekanan berlebihan terhadap rupiah.
“Jadi ya memang kalau perkembangan Trump yang masih berkembang, ya walaupun rupiah melemah, pelemahannya juga kelihatannya akan relatif pelan,” katanya.
Menurutnya, bagi pelaku usaha, kestabilan nilai tukar jauh lebih penting ketimbang nilai tukar yang tinggi atau rendah. Fluktuasi tajam justru bisa menciptakan ketidakpastian dalam perencanaan bisnis dan investasi.
“Yang diutamakan adalah pergerakan rupiah yang relatif smooth, jangan sampai perubahannya terlalu volatile, terlalu drastis. Itu yang justru paling tidak diinginkan oleh pelaku usaha,” kata Myrdal.