Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Rupiah Tembus Rp 16.300, Diproyeksi Masih Bisa Melemah
19 Desember 2024 16:34 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah kembali melemah pada perdagangan sore ini. Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan rupiah ditutup melemah 215 poin ke level Rp 16.312 dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp 16.097. Bahkan, rupiah sempat menyentuh pelemahan hingga 220 poin.
ADVERTISEMENT
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.300 hingga Rp 16.370,” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Kamis (19/12).
Salah satu pendorong utama pelemahan rupiah adalah keputusan Federal Reserve (The Fed) yang memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen. Keputusan ini telah lama dinantikan, namun pejabat The Fed mengindikasikan bahwa pelonggaran kebijakan moneter akan diperlambat.
“Suku bunga diperkirakan akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama setelah pemangkasan pada hari Rabu. Pasar telah mengesampingkan kemungkinan pemangkasan pada bulan Januari dan sekarang memperkirakan hanya dua pemangkasan lagi pada tahun 2025, dibandingkan dengan ekspektasi sebelumnya yaitu empat kali,” jelas Ibrahim.
ADVERTISEMENT
Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan pemangkasan suku bunga lebih lanjut bergantung pada keberhasilan dalam menekan inflasi yang masih menjadi tantangan utama. Di sisi lain, Bank of Japan (BOJ) mempertahankan suku bunga tetap rendah, menandakan sikap hati-hati terhadap prospek ekonomi Jepang. Keputusan ini mengecewakan investor yang berharap adanya kenaikan suku bunga pada Desember.
“Langkah BOJ ini membuat yen melemah, namun sektor berorientasi ekspor Jepang mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut,” ungkap Ibrahim.
Di dalam negeri, pelemahan rupiah juga dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat akibat rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Insentif yang diberikan pemerintah untuk meredam dampak kenaikan PPN dinilai masih belum efektif.
“Pemberian berbagai insentif, seperti diskon tarif listrik 50 persen selama dua bulan, tidak cukup membantu. Selain itu, industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki tetap terpuruk, sehingga memunculkan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” ujar Ibrahim.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, perlindungan terhadap produk dalam negeri juga menjadi isu penting. “Barang-barang impor dari China banyak yang dibanderol separuh atau bahkan kurang dari separuh harga produk dalam negeri. Saya menghimbau agar pemerintah memperketat kontrol terhadap produk-produk impor, baik yang legal maupun ilegal, terutama dari Tiongkok,” tegasnya.