Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS sejak pagi terus mengalami tren pelemahan. Berdasarkan data Bloomberg Kamis (19/11) pada pukul 11.08 WIB, kurs rupiah anjlok 193.50 poin atau 1,20 persen berada di level Rp 16.291 per Dolar AS.
ADVERTISEMENT
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan nilai tukar rupiah selama tahun 2025 akan bergerak dalam rentang Rp 15.800-Rp 16.350 per dollar AS
Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Bidang Perbankan dan Jasa Keuangan Apindo Aviliani mengatakan, pergerakan rupiah masih bergantung pada portofolio asing. Seperti ketika ada yield yang menarik di Amerika Serikat dan ada insentif yang menarik di sana.
“Cenderung mereka akan, sepertinya dolar pulang kampung gitu ya, sehingga biasanya rupiah cenderung lemah,” ujar Aviliani di Kantor Apindo Jakarta, Kamis (19/12).
Aviliani mengatakan, Bank Indonesia (BI) telah berupaya menstabilkan keadaan tersebut dengan DHE dan SRBI. Meski demikian, ia menilai nilai DHE masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan nilai impor.
“Karena itu ke depan, bisnis-bisnis yang mulai harus dikembangkan oleh pemerintah dengan insentifnya dan segala macam kebijakan-kebijakannya itu harus yang berbasis pada ekspor. Ekspor, kita bicaranya jangan di hilirisasi saja, tapi juga hulu. Nah kita sering kali melupakan hulunya,” jelas Aviliani.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berdampak pada industri, di mana impornya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya. Sehingga nilai tambah yang diciptakan dari industri itu terlalu rendah.
“Akibatnya apa? Akibatnya nilai tambah yang kita peroleh dari devisa jadi rendah. Nah itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah ke depan adalah terkait dengan orientasi ekspor,” kata Aviliani.
“Nah oleh karena itu, menurut saya Departemen Perindustrian sudah mulai harus mengetahui mana sih yang nilai tambahnya itu tinggi, kemudian insentifnya juga perlu disiapkan,” ungkapnya.
Menurut Aviliani, kondisi anjloknya rupiah ini akan berdampak pada bisnis yang berorientasi impor. Sebab, ketika rupiah sedang melemah, impornya menjadi lebih mahal.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan perusahaan tersebut juga melakukan efisiensi agar tetap bisa bertahan. Salah satunya dengan melakukan PHK.
ADVERTISEMENT
“Nah efisiensi ini yang biasanya akibatnya ke PHK, kemudian efisiensi ini juga akibatnya ke berbagai hal yang supaya mereka tetap bisa survive,” kata Aviliani.
“Kalau gak bisa survive, akhirnya apa dia? Naikin harga barang. Nah jadi inflasi bisa jadi juga karena pelemahan rupiah. Ini yang terjadi,” ujarnya.
Adapun sektor yang paling berdampak atas anjloknya rupiah ini yaitu sektor yang berhubungan langsung dengan banyak masyarakat, salah satunya air bersih.
“Hampir semua sektor tumbuhnya itu masih positif, masih bagus. Justru yang jelek itu adalah air bersih. Jadi menurut saya ini yang perlu diperhatikan,” kata Aviliani.
Selain itu, sektor yang berdampak lainnya yaitu konsumsi pemerintah. Padahal konsumsi pemerintah itu penting, sebab menjadi sumber dan juga stimulus. Oleh karena itu, dua sektor tersebut harus diperhatikan
ADVERTISEMENT