Rupiah Terus Melemah, Ini Deretan Biang Keroknya

22 Juni 2024 11:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
Seorang Teller menghitung uang Rupiah dan Dolar Amerika Serikat di Bank Mandiri, Jakarta, Senin (7/1/2018). Rupiah ditutup menguat 1,26 persen menjadi Rp14.085 per satu Dolar AS. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Seorang Teller menghitung uang Rupiah dan Dolar Amerika Serikat di Bank Mandiri, Jakarta, Senin (7/1/2018). Rupiah ditutup menguat 1,26 persen menjadi Rp14.085 per satu Dolar AS. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan tren pelemahan. Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup di level Rp16.450 per dolar AS, turun 20 poin atau setara 0,12 persen dari posisi Rp 16.430 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menjelaskan melemahnya nilai tukar rupiah selalu dipengaruhi dua faktor utama, yakni faktor fundamental dan sentimen jangka pendek.
Faktor fundamental yang dimaksud di antaranya adalah kondisi makroekonomi Indonesia seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan kredit. Dari sisi faktor fundamental, seharusnya rupiah bisa menguat.
Sebab, inflasi Indonesia masih terkendali di 2,8 persen pada Mei 2024 dan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen pada triwulan 1 tahun ini. Begitupun dari sisi pertumbuhan kredit yang menyentuh 12,5 persen pada Mei 2024.
"Demikian juga kondisi ekonomi kita, termasuk juga imbal hasil investasi Indonesia yang baik. Itulah faktor-faktor fundamental yang mestinya mendukung rupiah itu akan menguat," kata Perry usai rapat dengan Presiden di Istana Negara, Jakarta, dikutip Sabtu (22/6).
ADVERTISEMENT
Adapun faktor yang mempengaruhi pelemahan rupiah saat ini lebih kepada faktor teknikal jangka pendek, seperti ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Selain itu, berubahnya arah angin kebijakan bank sentral Amerika Serikat atau the Fed, yang sebelumnya diproyeksi akan menurunkan suku bunganya hingga 3 kali pada tahun ini, ternyata tak kunjung dilakukan dan kemungkinan penurunan suku bunga hanya terjadi satu kali hingga akhir tahun nanti.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan bahwa penyebab utama pelemahan rupiah ini adalah faktor global, khususnya Federal Reserve yang urung menurunkan suku bunga acuan Amerika Serikat pada paruh kedua tahun ini.
"Sepertinya akan paling cepat akan dilakukan di akhir tahun, itu jadinya ini kemudian memberikan tekanan kepada mata uang negara-negara emerging market termasuk Indonesia," jelas Faisal.
ADVERTISEMENT
Dia memandang nilai tukar rupiah tidak akan sampai pada level Rp 16.500 per dolar AS atau bahkan Rp 17.000 per dolar AS.
"Kemungkinan besar ke depannya ini masih pergerakan sesaat atau fenomena sesaat pelemahan ini, dalam artian belum akan terus berlanjut ya sampai lebih dari Rp 16.500 atau tidak akan sampai melemah sampai Rp 17.000," kata Faisal.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menyatakan bahwa pasar terus memantau ketidakpastian arah kebijakan fiskal yang meningkatkan fiscal risk juga menjadi faktor yang memengaruhi pelemahan mata uang rupiah. Hal itu dilihat dari kondisi proyeksi defisit anggaran yang besar di kisaran 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut mendekati batas atas level 3 persen dari PDB.
ADVERTISEMENT
Terlebih, belakangan ini bermunculan kabar mengenai sikap Presiden terpilih Prabowo Subianto yang terlihat permisif dengan utang dan bahkan diisukan hendak menaikkan rasio utang pemerintah ke kisaran 50 persen dari PDB, meski kemudian kabar itu sudah dibantah tim Prabowo-Gibran.
"Pemerintah mendatang di bawah Prabowo-Gibran harus secepatnya menyampaikan komitmennya terhadap disiplin fiskal agar naiknya risiko fiskal dapat ditekan dan tidak menciptakan sentimen negatif terhadap rupiah," kata Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/6).
Ibrahim mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia selayaknya menjaga stabilitas rupiah berbasis kekuatan fundamental perekonomian Indonesia. Hal itu yakni surplus neraca perdagangan, bukan intervensi valuta asing (valas) dengan cadangan devisa yang terbatas atau menaikkan suku bunga domestik.
"Sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan yang panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar. Pelemahan rupiah, merupakan anomali karena hingga Mei 2024 Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan yang cukup baik," kata Ibrahim.
ADVERTISEMENT