RUU Migas Dinilai Bisa Dorong Pemerintah Percepat Transisi Energi

22 November 2022 13:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pertambangan migas Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertambangan migas Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
RUU Migas dinilai bisa mendukung upaya pemerintah melakukan percepatan transisi energi, dari energi fosil ke energi terbarukan. Namun, rancangan peraturan tersebut sampai sekarang tak kunjung disesaikan.
ADVERTISEMENT
Komisi VII DPR menargetkan RUU Migas tersebut rampung di Juni 2023. Analis energi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, menegaskan perlu keseriusan pemerintah untuk transisi energi.
“Barometernya dari RUU Migas, jika ragu-ragu menentukan ini bisa jadi transisi migas ini juga ikut berdampak. RUU Migas akan menjadi barometer seberapa serius Indonesia dalam menyikapi periode transisi tersebut,” kata Putra melalui keterangan tertulis, Selasa (22/11).
Putra menjelaskan RUU Migas menjadi hal mendasar yang harus dituntaskan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum di sektor migas. Terlebih, saat ini Pemerintah Indonesia memiliki target produksi 1 juta barel minyak per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (bscfd) pada 2030.
ADVERTISEMENT
Dengan proses RUU Migas yang tak kunjung selesai, Putra menilai hal itu akan berpengaruh terhadap pandangan investor untuk masuk ke industri migas di Indonesia.
“Rentang waktu dari investasi sampai produksi sektor migas cukup lama, bisa mencapai 5 sampai 10 tahun. Saya rasa investor sudah mulai berhati-hati melihat bukan hanya dari potensinya, juga kepastian hukum dan kebijakan ke depan,” jelas Putra.
Putra menyebut sejumlah perusahaan raksasa menyatakan mundur dari proyek pengelolaan blok migas di Indonesia. Tercatat, Conoco Phillips sudah resmi melepas asetnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), sedangkan Chevron dan Shell masih berproses mencari mitra pengganti melanjutkan proyek gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur dan pengembangan proyek Blok Masela.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan jika berbicara soal transisi energi, ada dua aturan yang menjadi landasan Hukum. Keduanya adalah UU Migas dan UU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hingga kini belum kunjung diselesaikan.
Khusus untuk RUU Migas, Komaidi menegaskan beleid tersebut fundamental untuk investasi dan target lifting, sehingga perlu segera diselesaikan. Dia mencatat, proses UU Migas ini mulai dibahas dari 2008 dan sudah beberapa kali dibatalkan atau mengalami proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.
“Kenapa ya selama 14 tahun ini gak selesai-selesai? Padahal kalau bicara migas sebagai komoditas strategis harusnya justru menjadi kesadaran bersama untuk segera diselesaikan RUU-nya karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya demikian sudut pandangnya,” terang Komaidi.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Komisi VII DPR menargetkan RUU Migas rampung di Juni 2023. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Maman Abdurrahman, mengatakan RUU Migas akan dijadikan sebagai UU inisiatif DPR agar pembahasan bisa cepat rampung, paling lambat di Juni 2023.
"Jadi selesai sudah menjadi produk undang-undang, segera diselesaikan selambat-lambatnya bulan Juni 2023 sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia," ujar Maman saat rapat dengan SKK Migas, Rabu (16/11).
Adapun target tersebut dicantumkan dalam kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR dengan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. Anggota Komisi VII juga mendesak agar pemerintah gerak cepat membahas RUU tersebut.